Rabu, 20 Agustus 2008

Skripsi Kritik Cendikiawan Muslim Atas Penafsiran M. Quraish Shihab Tentang Ayat-ayat Jilbab

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal dikenal manusia, pakaian lebih berfungsi sebagai penutup tubuh daripada sebagai pernyataan lambang status seseorang dalam masyarakat. Sebab berpakaian merupakan perwujudan dari sifat dasar manusia yang mempunyai sifat rasa malu sehingga selalu berusaha menutupi tubuhnya. Oleh karena itu betapun sederhananya kebudayaan suatu bangsa, usaha untuk menutupi tubuh dengan pakaian itu selalu ada, kendati pun dalam bentuk seadanya seperti halnya orang Irian Jaya pedalaman yang hanya memakai holim (koteka) bagi laki-laki dan sali yokal bagi perempuan, yaitu suatu busana hanya menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuhnya[1]. Kemudian ketika arus zaman telah berkembang pakaian tidak lagi sebatas penutup aurat saja tetapi sebagai mode atau gaya hidup.

Ketika pakaian bukan hanya dijadikan sebagai penutup aurat tetapi juga sebagai mode atau perhiasan, hal ini memang tidak salah. Sebab Allah swt. Sendiri menyuruh kita untuk membaguskan pakaian yang kita pakai yaitu sebagaimana firman Allah Q.S. al A’raf [7]: 31:

* ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB ÇÌÊÈ

Tetapi walaupun hal itu dianjurkan mereka tetap memakai aturan-aturan berpakaian yang diatur oleh Alquran dan hadis yaitu harus menutup seluruh badan selain yang dikecualikan, kainnya harus tebal dan tidak tipis, tidak diberi wewangian yang terlalu berlebihan, tidak menyerupai laki-laki, dan tidak menyerupai wanita kafir[2]. Semua aturan tersebut tidak lain adalah untuk meninggikan derajat wanita dan agar mereka dianggap terhormat karena kita ketahui bahwa sebelum kedatangan agama Islam para wanita zaman jahiliah dahulu hanya memakai pakaian penutup kepala atau khimar yang tidak sampai kedada yang akibatnya auratnya terbuka pada bagian dada, sehingga menimbulkan rangsangan terhadap para lelaki hidung belang yang bermaksud jahat terhadap dirinya dan juga akibatnya tidak diketahui mana yang budak yang sudah merdeka dan belum merdeka[3]. Adapun perintah Allah swt berkenaan dengan perintah agar para wanita menutup auratnya yaitu sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah Q.S an Nûr [24]: 31:

Perintah ini ditujukan kepada semua perempuan yang beriman tanpa membedakan apakah ia berasal dari negara Arab, Indonesia, Amerika, Inggris, ataupun negara lain. Mereka tetap harus melaksanakan perintah ini dalam hal menjaga pandangan, menjaga kemaluan, menampakkan perhiasan yang biasa tampak yaitu muka dan tangan dan bagaimana tata cara berjilbab atau berkerudung.

Dari ayat yang telah disebutkan di atas yaitu Q.S. an Nûr [24]: 31 berkenaan batasan aurat yang lebih khusus pada potongan ayat yaitu:

Para ulama ketika menafsirkan “bagian yang tampak” pada ayat tersebut banyak terjadi perbedaan pendapat. Hal itu dikemukakan oleh asy Saukani di dalam Nailul Authar yaitu:

1. Aurat Wanita adalah seluruh badan wanita kecuali muka dan telapak tangan. Menurut pendapat al Hady dan al Qasim, Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Malik bahwa aurat wanita seluruh badan kecuali muka, dua telapak tangan, dua telapak kaki dan letak gelang kaki (di atas tumit dan di bawah mata kaki).

2. Menurut pendapat al Qasim, Imam Abu Hanifah, Sufyan ats Sauri dan Abu Abbas aurat Wanita adalah seluruh badan, kecuali muka. Dan juga Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Daud.

3. Menurut pendapat pengikut Imam madzhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.[4]

Dari perbedaan para ulama tersebut sesungguhnya tidak mengarah kepada perbedaan yang mencolok seperti bolehnya memperlihatkan rambut, dada, perut maupun paha. Perbedaan mereka hanya terletak pada muka, dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan.

Namun, dalam ayat ini pakar tafsir kontemporer yang juga lulusan Mesir yaitu M. Quraish Shihab dan sekarang menjabat anggota dewan penthashih Alquran memberikan kesimpulan dan penafsiran yang berbeda dari kebanyakan para ulama yaitu bahwa kepala bukan aurat karena menurutnya bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy bukan qathi’ [5]. karena ayat Alquran tidak memberikan rincian secara jelas dan tegas tentang batas batas aurat, seperti apa yang disebutkan dalam Q.S an Nur [24]: 31 tadi. Seandainya menurut beliau di dalam Alquran ada ketentuan pasti tentang batas aurat tentunya para ulama baik masa kini maupun ulama terdahulu tidak terjadi perbedaan atau khilafiyah dalam menginterpretasi ayat tersebut. Begitu juga dengan hadits Nabi yang walupun para ulama menemukan hadits Nabi tetapi masih juga ditemukan perbedaan dalam hal penilain kualitas suatu hadis[6].

Kesimpulan yang dikemukakan oleh M. Quraish shihab tersebut sebenarnya bisa menimbulkan keraguan oleh kaum mukminat dalam mengamalkan ayat tersebut, yang kalau dibaca sepintas dan tidak merujuk lagi pendapat para ulama terdahulu yang lebih kuat. Parahnya lagi apabila yang membaca atau mendengar pendapat beliau berasal dari orang awam[7] yang mempunyai latar belakang pendidikan yang rendah akan dapat menimbulkan keraguan atau kebingungan yang sangat berlebihan yang pada akhirnya auratnya tidak ditutupnya lagi. Akibat pendapat beliau yang mengatakan bahwa dalil tentang batas aurat bersifat zhan dan masih terdapat khilafiyah antara para ulama. Apalagi kalau kita membaca buku Quraish Shihab yang berjudul Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa lalu dan Cendikiawan Kontemporer dan beberapa tulisan beliau yang lain yang membahas tentang jilbab yang disitu secara panjang lebar dikemukakan pandangan Quraish Shihab berkenaan dengan batas aurat dan jilbab.

Munculnya beberapa buku M. Quraish Shihab tersebut yang membahas tentang Jilbab menurut sebagian kalangan, sesungguhnya tidak terlalu tepat di tengah gencarnya aksi demo yang dilakukan oleh para mahasiswa yang memperjuangkan para saudaranya yang muslimah yang dilarang memakai jilbab diwaktu bekerja, baik di Instansi pemerintahan maupun swasta karena bisa menimbulkan kesan melegalkan para wanita yang tidak memakai Jilbab.[8]

Dalam mengemukakan pendapatnya tersebut anehnya beliau tidak merujuk kepada Imam madzhab seperti imam empat madzhab seperti Imam Syafi’, Hanafi, Hambali maupun Maliki yang memiliki otoritas dalam masalah fiqih. Yang beliau kutip pendapat kebanyakan dari ulama yang tidak memiliki otoritas dalam masalah ini.

Pendapat Quraish Shihab tersebut yang dianggap berbeda dengan beberapa ulama tersebut akhirnya, banyak menuai kritikan dari beberapa cendikiawan muslim contohnya ketika diadakan bedah buku beliau yang berjudul Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa lalu dan Cendikiawan Kontemporer yang bertempat di pusat studi Alquran Ciputat hari Kamis, (21/9/2006) yang sebelumnya juga pernah di bedah di Wisma Nusantara Mesir hari Selasa, (28/3/06) yang pada saat diskusi banyak terdapat kritikan yang di lontarkan oleh para cendikiawan muslim seperti, Mukhlis Hanafi, Eli al Maliki, Adian Husaini dan Aep Syaipullah Darusmanwiati yang semuanya menolak pendapat beliau, ketika beliau menafsirkan Q.S. an Nur [24]: 31 dan Q.S al Ahzab [33]: 59. Akan tetapi ditengah banyaknya kritikan yang diberikan kepada Bapak Quraish tersebut beliau masih tetap dengan pendapatnya yaitu bahwa Jilbab adalah masalah khilafiyah.

Dari beberapa latar belakang masalah atau fenomena yang telah penulis kemukakan tadi, maka penulis termotivasi untuk melakukan penelitian yang mendalam mengenai penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab dalam Alquran yang dinilai berbeda dengan pemikiran para fuqaha dan ahli tafsir dan juga bagaimana kritik para cendikiawan Muslim terhadap penafsirannya yang akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul “KRITIK CENDIKIAWAN MUSLIM ATAS PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG AYAT-AYAT JILBAB”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat jilbab.

2. Bagaimana kritik cendikiawan muslim atas penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat jilbab.

C. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya pemahaman yang tidak dikehendaki maka, ada beberapa istilah yang perlu ditegaskan yaitu:

Kritik adalah Kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya pendapat, dan sebagainya[9].

Para cendikiawan muslim disini adalah cendikiawan yang terlibat langsung dalam diskusi membedah buku M. Quraish Shihab yaitu Adian Husaini yang merupakan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Eli al Maliki yang merupakan doktor bidang fikih, dan Mukhlis Hanafi yang merupakan doktor bidang tafsir dan Aep Saipullah Darusmanwiati yang merupakan Mahasiswa asal Ciamis yang sekarang sedang menyelesaikan Thesis di Pasca Sarjana Universitas al Azhar Kairo Jurusan Ushul Fiqh.

Jilbab adalah baju kurung yang longgar, dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala, sebagian muka dan dada.[10]

Jadi, yang dimaksud dengan kritik cendikiawan muslim atas penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab adalah mengkaji penafsiran Quraish tentang Jilbab dan kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh cendikiawan muslim kepada beliau.

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat Jilbab dan juga untuk mengetahui bagaimana kritik para cendikiawan muslim terhadap hasil penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat Jilbab.

E. Signifikansi Penelitian

Hasil Penelitian ini di harapkan berguna :

a. Menambah khazanah keilmuan bagi pengembangan pemikiran terhadap tafsir Alquran, khususnya mengengenai penafsiran seorang tokoh Mufassir.

b. Membuka cakrawala berpikir umat muslim bahwa ayat Alquran dalam hal menafsirkannya banyak terdapat perbedaan baik secara metode, corak maupun hasil penafsirannya.

c. Sebagai bahan referensi bagi mereka yang ingin mengetahui penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat Jilbab.

d. Bagi masyarakat yang lebih khususnya kepada Wanita agar memilih pendapat yang rajih berkenaan dengan batasan aurat.

E. Tinjaun Pustaka.

Sejauh pengamatan penulis, memang telah ada beberapa pengkaji yang telah berusaha melakukan kajian terhadap penafsiran M. Quraish Shihab dalam bidang tafsir, akan tetapi kajian yang dilakukannya tidak secara mendalam atau hanya secara garis besarnya saja. Disini penulis mengklasifikasi beberapa kajian yang dilakukan penulis lain dalam mengkaji penafsiran M. Quraish Shihab yaitu beberapa tulisan dalam bentuk majalah dan skripsi.

Pertama, dalam bentuk Majalah yaitu kajian yang dilakukan oleh Adian Husaini yang pada saat bedah buku M.Quraish Shihab terlibat langsung dalam diskusi yaitu tulisan beliau terdapat di dalam Majalah Suara Hidayatullah Edisi ke 7 XXIV (November, 2006). Dalam tulisan ini, beliau hanya sedikit mengutarakan beberapa pandangan M. Quraish Shihab yang dianggap ganjil oleh ulama-ulama terdahulu yang mempunyai ototritas dalam bidang fiqih maupun tafsir.

Kedua, dalam bentuk skripsi. kajian yang dilakukan dalam bentuk Skripsi terutama dalam mengkaji penafsiran M. Quraish Shihab banyak dilakukan oleh Mahasiswa/I Fakultas Ushuluddin lebih khususnya Jurusan Tafsir Hadis yaitu Kajian yang dilakukan Rafi’ah Hidayati yang Skripsinya berjudul Jilbab dalam Alquran (Studi Analisis Penafsiran Surah al Ahzâb ayat 59) yang di terbitkan IAIN Antasari tahun 2005. Kajian yang dilakukannya hanya berupa penafsiran secara Tahlili dan di dalam skripsi itu pun hanya sedikit menyinggung penafsiran M. Quraish Shihab yang dikemukakanya tentang jilbab. Ada juga kajian yang dilakukan Syariffuddin yang membahas penafsiran M. Quraish shihab tetapi penafsiran beliau yang dibahasnya bukan berkenaan tentang jilbab tetapi tentang perbandingan penafsiran antara Fahruddin ar Râzzi dengan M. Quraish Shihab mengenai kalimat tauhid La illa ha Illallah yang dituangkannya dalam skripsi berjudul Penafsiran Fahruddin ar Râzi dan M. Quraish Shihab Tentang La ila Ha Illallah (Studi Komparatif) dan ada juga kajian studi komparatif yang dilakukan oleh Abdul Ghani yang membahas tentang Perempuan Shalehat, Qânitat, dan Hâfidzat dalam Alquran (Studi Komparatif Tafsir Al Azhar dengan Tafsir Al Misbah). Selain itu ada juga kajian yang dilakukan Pauzan Ansari yang judul Skripsinya yang berjudul Konsep Setan Menurut M. Quraish Shihab (Studi Tafsir Al Misbah), disini ia hanya mengetengahkan bagaimana konsep setan dalam menggoda manusia dalam Alquran menurut M. Quraish Shihab yang sekarang ini banyak disalahartikan oleh suatu kalangan lebih khusus kepada kaum sufi, contohnya ketika Setan atau Iblis ketika disuruh oleh Allah untuk sujud kepada Adam tetapi Iblis tidak mau sujud kepada Adam dengan alasan bahwa Dia lebih baik dari Adam, Iblis diciptakan dari api dan Adam diciptakan dari tanah. Dalam hal ini kaum sufi menurut M. Quraish Shihab menganggap bahwa alasan kenapa Iblis tidak mau sujud kepada Adam karena Ia hanya menyembah kepada Allah bukan kepada Adam. Padahal menurut M. Quraish Shihab maksud sujud disitu bukan penyembahan tetapi lebih kepada penghormatan kepada Adam.

Bahasan yang mengetengahkan pemikiran M. Quraish Shihab juga pernah dilakukan oleh Fauzan. Pada tulisannya ini ia menggaris bawahi pokok persoalan tentang penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Alquran, dalam hal ini merujuk secara langsung Tafsir al-Misbah sebagai karya monumental M. Quraish Shihab. Secara metodologis kajiannya dijabarkan kepada dua hal. Pertama, asumsi dasar M. Quraish Shihab dalam penafsirannya. Kedua, prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam penafsirannya.

Dari penulusuran yang telah penulis lakukan terhadap penafsiran M. Quraish Shihab dalam bidang Tafsir. Belum ada suatu kajian khusus dan mendalam yang membahas tentang penafsiran M. Quraish Shihab dan kritik para cendikiawan muslim terhadapnya, terutama mengenai penafsirannya tentang ayat-ayat jilbab di dalam buku-buku M. Quraish Shihab.

F. Metode Penelitian

1. Bentuk Penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan terhadap hasil penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat jilbab dan juga kritik cendikiawan muslim terhadap penafsiran beliau, maka penulis menggunakan metode penelitian penafsiran Alquran sebagai metode yang digunakan dengan ungkapan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif.

2. Data dan Sumber Data.

Penelitian ini menjadikan hasil interpretasi M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat Jilbab dalam Alquran dan juga kritik para cendikiawan muslim terhadap hasil penafsirannya. Adapun data yang menjadi bentuk penelitian ini adalah:

a. Data Pokok

1. Penafsiran M. Quraish shihab tentang ayat-ayat jilbab yang ada di dalam buku-buku beliau yaitu Tafsir al Misbah, Wawasan al Qur’an, dan Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan ulama masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer.

2. Tulisan- tulisan yang memuat kritik-kritik para cendikiawan muslim baik dari buku, majalah, maupun yang diperoleh dari media Internet.

b. Data Pelengkap adalah karya pendukung penelitian yang memuat hasil interpretasi mufassir terhadap penafsirannya tentang ayat-ayat jilbab maupun kritik dari para cendikiawan muslim, seperti:

1. Majalah Suara Hidayatullah

2. Fatwa-fatwa Kontemporer Yusuf al Qardhawi.

3. Kitab-kitab Tafsir

4. dan lain-lain.

3. Teknik Pengolahan dan Analisi Data.

Penelitian ini dilakukan terhadap hasil penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat jilbab yang meliputi penafsirannya dan kritik para cendikiawan muslim terhadap hasil penafsiran beliau. Adapun langkah-langkah dalam mengolah data sebagai berikut:

a. Pengumpulan data, dalam hal ini data penelitian sebagian terkumpul dalam Tafsir al Misbâh Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan ulama masa lalu dan cendikiawan kontemporer, Tafsir al Misbah sebagai karya M. Quraish Shihab ditambah dengan data-data sekunder yang diperlukan .

b. Klasifikasi data, yaitu dengan membagi data dalam tiga bahasan:

Pertama, riwayat hidup M. Quraish Shihab.

Kedua, penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat Jilbab.

Ketiga, kritik para cendikiawan muslim terhadap hasil penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat jilbab.

c. Analisis Data, yaitu data yang diperoleh akan di analisis dengan menggunakan analisis isi dan akan dipaparkan dalam bentuk ungkapan deskriptif kualitatif.

d. Pembagian dan Penyusunan bab. Hasil akhir penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan.


. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan di bahas dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama atau pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, yang mengetengahkan beberapa masalah sehingga penulis termotivasi untuk melakukan penelitian terhadap M. Quraish Shihab, kemudian dibuat rumusan masalah, definisi operasional, tinjaun pustaka, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan untuk menyelesaikan penelitian diketengahkan metode penelitian serta diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab kedua, yang berisi tentang riwayat hidup M. Quraish Shihab. Adapun Riwayat hidup beliau meliputi biografi singkat M. Quraish Shihab, kondisi sosio-historis lingkungan dan pendidikan yang mempengaruhi pemikirannya.

Bab ketiga, berisi tentang penafsirannya tentang jilbab yang meliputi pengertian jilbab, dasar-dasar dan sumber penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat jilbab.

Bab keempat, berisi para cendikiawan muslim yang mengkritik penafsiran M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat jilbab. Adapun para cendikiawan muslim yang mengkritik beliau adalah Eli Maliki, Mukhlis Hanafi, Adian Husaini, dan Aep Saipullah Darusmanwiati. Kemudian di akhir bab ini penulis akan memberikan suatu analisis terhadap penafsiram M. Quraish Shihab dan kritik cendikiawan muslim yang dilontarkan kepada Quraish Shihab

Bab kelima atau penutup berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan kemudian diakhiri dengan saran-saran.



[1] Nina Surtiretna, et. al., Anggun Berjilbab, cet. II, (Bandung: Al Bayan, 1996), h.13

[2] Al Ghifari, Kudung Gaul: Berjilbab Tapi Telanjang, cet. 13, (Bandung: Mujahid Pers, 2003), h. 62-63.

[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 11, cet. II, h. 319.

[4] Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy- Syaukani, Nailul Authar min Sayyid al Akhyar Syarhu Muntaha Munqal al Akhbar, (Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyah, 1995), h. 68.

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 15, cet. II, h. 333.

[6] Adian Husaini, “Jilbab”:M. Quraish Shihab, http//www. Hidayatullah. Down. Com/2006/09/op.html/top, diakses 10 Mei 2008. Juga dalam tulisan beliau yaitu “Jilbab: M Quraish Shihab”, Suara Hidayatullah, XXIV, 7 (November, 2006), h. 92-93.

[7] Pernah suatu ketika Aep Saipullah Darusmanwiati membimbing para jema’ah haji dari Bekasi. Kemudian ada seorang ibu bertanya kepada beliau beberapa nama yang pernah menjadi Dubes di Mesir. Lantas Syaipullah menjawabnya bahwa yang pernah menjabat Dubes di Mesir adalah bapak M. Quraish Shihab. Secara spontan ibu tersebut berkata: “oh… pak Quraish yang membolehkan wanita yang tidak berkerudung itu yah, pak ustadz. Ketika Aep Saipullah menanyakan sumbernya beliau menjawab dari buku beliau tentang jilbab.

Hal inilah yang kadang-kadang masyarakat terlalu cepat mengambil suatu kesimpulan apabila ada suatu ulama yang menyatakan sesuatu sebelum mengetahui apakah itu merupakan sudah merupakan ijma’ para ulama terdahulu atau merupakan pendapat yang rajih.

[8] Aksi demo yang dilakukan kawan-kawan Mahasiswa tersebut berlangsung di Hotel Indonesia di Jakarta pada hari Jum’at tanggal 8 Maret 2002. lebih jelasnya lihat, tulisan Sri Sunarti, “Jilbab di Kebiri”, Sabili, XII, 17 th, (Maret, 2005), h.10.

[9] Ibid, h. 466.

[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, , (Jakarta: Balai pustaka, 1990), cet. III, h. 363.

BAB II

RIWAYAT HIDUP M. QURAISH SHIHAB

A. Biografi M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab[1] adalah seorang mufassir kontemporer yang sangat produktif dalam berkarya. Beliau dilahirkan pada tanggal 16 februari 1944 M di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan salah satu putra dari Abdurrahman Shihab (1905-1986). Seorang Wiraswasta. Selain itu ayahnya adalah seorang mubaligh yang sejak mudanya telah seringkali berdakwah dan mengajarkan ilmu-ilmu agama. Ulama ini juga dikenal sebagai guru besar bidang tafsir serta pernah menjabat Rektor IAIN Alaudin Ujung Padang. Jadi kehidupan yang agamis sudah menjadi keseharian ayahnya M. Quraish Shihab.

M. Quraish Shihab juga dikenal Ulama yang mampu menyampaikan pesan-pesan ilahi dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami oleh semua kalangan baik orang akedemis maupun non akedemis. Hal itu terbukti dari karya beliau yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia dan termasuk buku Best Seller .

B. Kondisi Sosio-Historis Lingkungan dan Pendidikan yang Mempengaruhi Pemikirannya.

M. Quraish Shihab lahir dilingkungan bernuansa agamis dan dari sinilah beliau tumbuh dan berkembang. Tak pelak lagi keharmonisan keluarga yang demikian dan bimbingan orang tua yang selalu diberikan telah membekas dan berpengaruh besar bagi perkembangan akademisnya pada hari kemudian. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang menengahnnya di Malang sambil nyantri di pondok pesntren Darul hadis al Fiqhiyah di bawah asuhan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih (wafat di Malang 1962 dalam usia sekitar 65 tahun) yang terletak di kota Malang selama kurang lebih dua tahun. Pada tahun 1958, ia berangkat ke Kairo, Mesir, guna melanjutkan pendidikannya. Dengan bekal pengetahuan yang telah diterimanya ketika bersekolah di Malang. Ia diterima di kelas II Tsanawiyah al Azhar setelah selesai pada tingkat tersebut, ia berniat melanjutkan pendidikannya di Universitas al Azhar di kota yang sama. Jurusan yang dipilihnya adalah Tafsir Hadis pada Fakultas Ushuluddin yaitu Sesuai dengan kecintaannya terhadap bidang yang telah tertanam semenjak kecilnya melalui petuah-petuah serta pengajaran ayahnya. Adapun petuah yang masih terngiang di telinganya dan telah membekas dalam hatinya adalah:

“Aku akan palingkan (tidak memberikan) ayat-ayat ku kepada mereka yang bersikap angkuh di permukaan bumi…”. Merupakan ayat Alquran dalam QS. Al A’raf [7]: 146.

“Alquran adalah jamuan Tuhan,” Rugilah yang tidak menghadiri jamuannya, dan lebih rugi lagi yang hadir tetapi tidak menyantapnya. demikian bunyi sebuah hadis.

”Bacalah Alquran seakan-akan ia diturunkan kepadamu,” Kata Muhammad Iqbal.

Rasakanlah Keagungan Alquran, sebelum kamu menyentuhnya dengan nalarmu, kata Syekh Muhammad Abduh.

“Untuk Mengantarkanmu mengetahui rahasia ayat-ayat Alquran, tidaklah cukup kau membacanya empat kali sehari,”. seru al- Maududi[2]

Dari peran sang ayah inilah telah membentuk perkembangan pandangan pemikiran-pemikiran anaknya, begitu juga dalam hal ini dengan Quraish Shihab. Sehingga dari petuah-petuah tersebut, akhirnya menjadikan suatu benih kecintaan Quraish kepada studi Alquran yang mulai melekat dijiwanya. Bahkan beliau rela mengulang satu tahun hanya untuk mendapatkan kesempatan studi di jurusan tafsir. Padahal waktu itu jurusan lain membuka pintu lebar-lebar untuknya. [3]

Akhirnya studinya dapat ia tempuh dengan lancar dan di tahun 1967 ia berhasil melalui Lc atau setingkat dengan Strata Satu (S1). Kemudian tanpa menunda waktu, ia segera mendaftarkan diri untuk melanjutkan studinya di fakultas yang sama. Maka pada tahun 1969, M. Quraish Shihab berhasil meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir Alquran. Tesis yang diajukannya sebagai penutup studinya yaitu yang berjudul al-I’jaz at-Tasyri’I li al Qur’an al Karim. Sekembalinya ke Ujung Pandang M. Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademis dan Kemahasiswaan di IAIN Alaudin Ujung Pandang. Selain itu, ia juga menduduki jabatan-jabatan lain, baik dalam kampus maupun luar kampus. M. Quraish Shihab sempat melakukan berbagai penelitian dengan tema “Penerapan Kerukuan Hidup Beragama di Indonesia Timur” tahun 1975 serta “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” di tahun 1978. pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dalam melanjutkan studinya di Almamater yang lama, di Universitas al Azhar. Kegiatan ini selesai relatif singkat yakni sekitar dua tahun, dan di tahun 1982 berhasil meraih gelar doktor dalam bidang tafsir, setelah mempertahankan Disertasinya dengan Judul Nazham ad-Durâr li al Biqâ’I : Tahqiq wa Durasah gelar tersebut diraih dengan yudisium Summa Cum Laude disertai dengan penghargaan tingkat satu (Mumtaz Ma’a martabat asy-syaraf al- ulâ).

Selain peran dari sang ayah yang juga dikenal sebagai ahli tafsir yang mempengaruhi pemikiran M. Quraish Shihab ada juga orang lain yang berjasa mengembangkan pemikirannya yaitu:

Pertama, adalah al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih (w. 1897-1962). Beliau merupakan guru atau Mursyid M. Quraish Shihab di Pondok Pesantren Dar al Hadits al-Fiqhiyah di Malang sejak 1956-1958, yaitu terhitung saat beliau nyantri 2 tahun di pondok tersebut. Dari Habib Abdul Qadir inilah beliau banyak menimba ilmu walaupun hanya 2 tahun tapi pesan-pesan atau ilmu-ilmu yang beliau ajarkan masih melekat di kepala karena beliau mengajarkan suatu ilmu dengan keikhlasan sebagaimana ungkapan beliau yang menyatakan bahwa: تعليمنا يلشع (Pengajaran kami melengket karena keikhlasan) beliau juga mengingatkan bahwa:

Thariqat yang kita tempuh menuju Allah adalah upaya meraih ilmu dan mengamalkannya, disertai dengan wara’ dan rendah hati serta rasa takut kepada Allah yang melahirkan keikhlasan kepadanya, popularitas bukanlah idaman leluhur Abi’ ‘Alawiy, siapa yang mengidamkannya maka dia ‘kecil’. Thariqat mereka adalah Shirathul Mustaqim (jalan lebar yang lurus) yang intinya adalah ketulusan bertaqwa serta zuhud menghindari gemerlapnya dunia, rendah hati, meluruskan niat, membaca wirid walaupun singkat-serta menghindari aib dan keburukan.[4]

Kedua, yaitu Syekh Abdul Halim Mahmud (1910-1978M) yang juga di gelari dengan “Imam al Gazali Abad XIV H”. beliau adalah Dosen M. Quraish Shihab pada Fakultas Ushuluddin. Guru beliau ini hidup sangat sederhana dan rumah beliau juga sangat sederhana. Syekh Abdul Halim Mahmud ini diakui kegigihannya dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam oleh semua pihak meskipun beliau dikenal sebagai pengamal tasawuf oleh karena itulah tidak heran beliau diangkat sebagai pimpinan tertinggi lembaga-lembaga al Azhar.[5]

C. Aktifitas dan Karya-karya M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab mulai beraktifitas di dunia akademik dimulai sejak tahun 1969 yaitu ketika ia kembali dari Kairo dengan gelar MA. Pada mulanya ia diangkat sebagai Dosen pengasuh materi tafsir dan Ulûmul Qur’an pada IAIN Alaudin Ujung Pandang. Kemudian dipercaya untuk menjabat sebagai wakil Rektor di bidang akedemis dan kemahasiswaan. Selain itu, pimpinan IAIN tempatnya berdedikasi juga sebagai koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (KOPERTAIS) wilayah VII Indonesia bagian Timur yang belanjut sampai tahun 1980. sekembalinya dari Kairo untuk kedua kalinya, ia masih bekerja di IAIN Alaudin Ujung Pandang. Di Tahun 1984, ia ditugaskan sebagai Dosen di Fakultas Ushuluddin dan Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kedua lembaga ini, ia juga diberi kepercayaan sesuai dengan bidangnya yaitu mengasuh materi tafsir dan Ulûmul Qur’an. Selanjutnya dari tahun 1992 sampai 1998, selama dua periode. Ia terpilih sebagai rektor IAIN Jakarta. Seharusnya periode kedua dari jabatannya berakhir pada tahun 2000. namun di tahun 1998 ia diangkat sebagai Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan RI ke 6.

Jabatan sebagai Menteri Agama tersebut menurut isu yang terdengar diberikan kepada M. Quraish Shihab karena kedekatan beliau dengan Presiden Soeharto sebab pada awalnya beliau merupakan pengajar di Keluarga Cendana. Jabatan ini sempat dipangkunya dalam waktu yang sangat singkat, yakni hanya beberapa bulan saja. Kenyataan ini disebabkan oleh adanya pergantian kepemimpin Nasional yang terjadi secara mendadak. Selanjutnya, di tahun 1999 ia diangkat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Mesir, Jibouti, dan Somalia. Tugas ini dilaksanakan dengan baik sampai akhir periode, yaitu tahun 2002. kemudian ia ke almamaternya dan menekuni tugasnya sebagai seorang Dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat serta Program Pasca Sarjana UIN Jakarta. Pada saat itulah ia telah menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar RI.

Adapun karinya sebagai aktifitas organisasi yang bergerak diluar kampus dimulai sejak di angkat sebagai pembantu pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang Pembinaan Mental. Aktifitas ini dijalani selama bermukim di Ujung Pandang. Ketika pindah ke Jakarta, ia juga banyak aktif dalam berbagai lembaga dan organisasi. Tahun 1984, dalam Musyawarah Nasional Ulama Indonesia (Munas MUI) pusat, ia terpilih menjadi salah satu ketuanya kemudian, di tahun 1989, ia juga di tetapkan sebgai anggota Lajnah Pentashih Mushhaf Alquran yang bernaung di bawah Depertemen Agama, lalu ia di angkat sebagai anggota badan Pertimbangan Pendidikan Nasional.

Dalam organisasi kemasyarakatan dan Profesi M. Quraish Shihab banyak terlibat dalam banyak kepengurusan dan berbagai kegiatan. Ketika menjadi bagian dari organisasi tersebut ia selalu berperan aktif, antara lain di pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, pengurus konsorium ilmu-ilmu agama yang berada di bawah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, ia juga di angkat sebagai Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI). Ketua Perhimpunan Alumni Timur Tengah, dan lain sebagainya.

M. Quraish Shihab dikenal pula sebagai mubaligh yang cukup populer. Terutama dikalangan akademisi. Banyak pengajian yang di asuh dan tidak sedikit acara televisi yang menayangkan ceramah-ceramahnya. Walaupun jabatan yang diemban dan banyaknya aktifitas beliau baik di dalam maupun di luar kampus beliau tetap berusaha untuk meluangkan waktu untuk menulis sebagaimana ungkapan beliau yaitu,

“Tetapi yang paling saya harapkan hanya satu, saya tidak ingin mengurangi kegiatan tulis menulis. Saya berharap masih ada waktu tersisa untuk itu. Kebiasaan menulis itu biasanya saya lakukan setelah subuh dan waktu-waktu itu saya harapkan masih bisa digunakan”.[6]

Adapun beberapa tulisan beliau diantaranya seperti, di surat kabar Pelita. Pada setiap hari rabu ia menulis dalam Rubrik “Pelita hati”. Ia juga mengasuh rubrik “Tafsir al Amanah” dalam majalah mingguan yang terbit di Jakarta, al Amanah. Selain itu ia tercatat pula sebagai dewan redaksi majalah Ulûmul Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.

Selain menulis diberbagai majalah atau surat kabar beliau juga menghasilkan berbagai macam buku diantaranya: Tafsir Al-Manar: Keistemewaan dan Kelemahannya, (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984); Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994); Lentera Hati, (Bandung: Mizan, 1994); Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996); Untain Permata Buat Anakku, (Bandung: Mizan, 1998); Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998); Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 1998); Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat, (Jakarta: Lentera Hati, 1999); Pengantin Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 1999); Haji Bersama Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1999); Sahur Bersama Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1999); Shalat Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Abdi Bangsa); Puasa Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Abdi Bangsa); Fatwa-Fatwa, (Bandung: Mizan, 1999), 4 jilid; Hidangan Ilahi: Tafsir Ayat-Ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 1999); Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 2000); Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera hati, 2003), 15 jilid; Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Dalam Pandangan Ulama dan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2004); Dia Di Mana-Mana: Tangan Tuhan Dibalik Setiap Fenomena, (Jakarta: Lentera Hati, 2004); Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005); Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2005); Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritik Atas Tafsir Al Manar, (Jakarta: Lentera Hati, 2006); Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006); Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir dan Do’a, (akan terbit, 2006); Tafsir Atas Surah-Surah Pendek Berdasarkan TurunnyaWahyu, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997).[7]



[1] Berkenaan dengan biografi M. Quraish Shihab dapat dilihat, Abdul Aziz Dahlan, et. Al. (ed). ”Quraish Shihab, Muhammad”, Suplemen Ensklopedi Islam 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996 M), Cet. VIII, h. 110-112. begitu juga biografi singkat dapat di ambil dari beberapa sumber tulisan, yakni Muhammad Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996M/ 1417 H), Cet. XIII, h. 6, dalam poin ‘Tentang Penulis’ dan ‘Kata Pengantar’; Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996 M/1416 H), Cet. III, h. v, dalam poin Tentang Penulis; “Riwayat Hidup”.

[2] Muhammad Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”, op.cit., h. 14.

[3] Fauzan, op. cit., h. 24.

[4] M. Quraish Shihab, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet. II, h. 20-21.

[5] Ibid, h. 23-24.

[6] Lihat Depag RI, “Lebih dekat dengan Menteri Agama Kabinet VII”, Ibid., h. 5

[7] Lihat, Sampul Buku M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi; Al Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati 2006).

BAB III

PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG AYAT-AYAT JILBAB

DALAM ALQURAN

A. Pengertian Jilbab

Mengenai pengertian jilbab banyak pakar, baik dari pakar ahli bahasa maupun ahli tafsir berbeda-beda dalam mendefinisikannya diantaranya yaitu:

1. Menurut Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala sebagian muka dan dada.[1]

Kamus Umum Bahasa Indonesia

Jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala, leher dan dada.[2]

Kamus Istilah Agama Islam

Jilbab yaitu kain penutup kepala/ kerudung yang dipakai oleh kaum perempuan untuk melindungi sebagian auratnya.[3]

Kamus Istilah Fiqh

Jilbab adalah penutup kepala perempuan atau kerudung pakaian yang menutup aurat bagian atas perempuan.[4]

Kamus Munawwir Arab-Indonesia

Jilbab adalah Jubah (baju kurung yang panjang)[5]

Lisanul Arab :

Jilbab berarti jenis pakaian yang lebih besar dari kerudung dan lebih kecil dari pada rida’ (selendang besar) yang biasa dipakai kaum wanita untuk menutup kepala dan dada mereka[6].

2. Menurut Buku Ensiklopedi

Ensiklopedi Hukum Islam

Jilbab adalah sejenis baju kurung yang dapat menutup kepala, muka, dan dada.[7]

3. Menurut Ahli Tafsir

Hamka dalam tafsirnya Al Azhar mengutip pengertian al Qurtuby yang mendefinisikan jilbab sebagai pakaian yang besar dan kerudung yang dapat menutup seluruh badan.[8]

Adapun Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al Qur’an al Azhim menyatakan bahwa jilbab adalah Sejenis baju sarung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.[9]

Al Maraghi dalam tafsirnya Tafsir al Marghy mendefinisikan jilbab yaitu baju kurung yang meliputi seluruh tubuh wanita, lebih sekedar baju biasa dan kerudung.[10]

Pakar Tafsir al Biqâ’I menyebutkan beberapa pendapat tentang jilbab antara lain baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya atau semua pakaian yang menutupi badan wanita.[11]

Dari beberapa pengertian di atas baik dikalangan ahli bahasa maupun ahli tafsir walaupun mereka berbeda pendapat mengenai pengertian jilbab namun pada umumnya bahwa jilbab adalah pakaian yang lebar, longgar dan menutupi seluruh bagian tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Akan tetapi istilah jilbab dalam arti menutup kepala ini hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa Negara Islam pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libiya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa Negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan dan Yaman.

B. Dasar-dasar dan Sumber Hukum Penafsiran M. Quraish Shihab Tentang Ayat-ayat Jilbab.

Persoalan pemakaian jilbab tidak dapat dipisahkan dari persoalan aurat yakni batas minimal bagian tubuh yang wajib ditutup. Mengenai batas aurat ini para ulama masih khilafiyah dalam menentukan batas minimal aurat.

Mengenai hal tersebut Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat tentang jilbab beliau menyuguhkan beberapa pendapat baik dari ulama masa kini maupun cendikiawan kontemporer. Antara pandangan mereka tersebut sering terjadi perbedaan baik dalam memahami ayat Alquran maupun hadis untuk lebih jelasnya kita lihat penafsiran mereka tersebut.

1. Pandangan Ulama Masa Lalu.

Kelompok masa lalu ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu pertama menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sedang kelompok yang kedua yaitu mengecualikan wajah dan telapak tangan.

Adapun ayat yang menjadi dasar penetapan batas aurat yaitu QS. Al Ahzab [33]: 53:


Ayat ini menurut M. Quraish Shihab mengandung dua tuntunan pokok. Pertama, menyangkut etika mengunjungi Nabi (rumah) dan kedua menyangkut hîjab. Pada ayat ini menurut sahabat Nabi saw., Anas bin Mâlik ra., turun berkaitan dengan perkawinan Nabi saw., dengan Zainab binti Jahesy. Ketika itu Nabi menyiapkan makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka makan, sebagian undangan-dalam riwayat ini dikatakan tiga orang- masih tetap duduk berbincang-bincang. Nabi saw., masuk kekamar ‘Âisyah lalu keluar, dengan harapan para tamu masih tinggal itu pulang, tetapi belum juga, maka beliau masuk lagi kekamar istri yang lain, demikian seterusnya, silih berganti masuk dan keluar kekamar semua istri beliau. Akhirnya mereka keluar juga setelah sekian lama Rasul saw., menanti. Anas bin Mâlik yang menuturkan kisah ini berkata: “Maka aku menyampaikan hal tersebut kepada Nabi saw., maka beliau masuk. Aku pun ketika itu akan masuk tetapi telah di pasang hijâb antara aku dengan beliau, lalu turunlah ayat ini”. (HR. Bukhâri melalui Anas bin Mâlik).[12]

Berkenaan dengan ayat tersebut di atas para ulama berbeda pendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat walau wajah dan telapak tangan memahami ayat di atas berlaku umum, mencakup semua wanita muslimah. Alasan ini antara lain:

a. Kenyataan pada masa Nabi saw. Menunjukkan bahwa bukan hanya istri-istri Nabi yang memakai hîjab dalam arti menutupi seluruh badannya, tetapi juga wanita muslimah lainnya.

b. Adanya larangan memasuki rumah Nabi saw., tanpa izin, bukan berarti larangan itu hanya khusus buat rumah Nabi saw. Tetapi juga buat rumah semua orang. Ini berarti bahwa perintah menggunakan hîjab itu, walau secara redaksional tertuju kepada istri-istri nabi, namun hukumnya mencakup semua wanita muslimah.

c. Firmannya: ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ itu lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka”. Kesucian hati tentu saja tidak hanya dituntut dari istri-istri Nabi saw. Tetapi semua kaum muslimin. Ketetapan hukum ini—menurut penganut pendapat di atas—walaupun turun khusus menyangkut mereka dan selain mereka, dengan alasan bahwa kita diperintahkan mengikuti dan meneladani beliau kecuali dalam hal-hal yang dikhususkan Allah kepada beliau bukan buat umatnya.[13]

Selain memahami ayat tersebut di atas yang menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat dan merupakan dalil yang menunjukkan keumuman perintah kepada semua kaum muslimah, ada juga ulama yang menyatakan bahwa perintah tersebut merupakan kekhususan kepada istri-istri Nabi saja dan kekhususan tersebut mereka pahami dalam arti yang lebih ketat dari pada pendapat ulama sebelumnya, yakni mereka berpendapat bahwa sama sekali tidak dibenarkan bagi istri-istri Nabi Muhammad saw., menampakkan diri dihadapan umum –bukan sekedar menutup seluruh badan mereka –kecuali kalau ada darurat untuk itu. Ini antara lain dengan dalih bahwa istri Nabi sekaligus anak Umar bin Khaththâb ketika ayahnya meninggal, wanita-wanita disekelilingnya menutupi sosok Hafsh ra., dan disamping itu ketika istri Nabi, Zainab binti Jahsy ra., meninggal dunia, jenazahnya ditutupi lagi dengan kubah agar tidak terlihat bentuk badannya. Pendapat ini dikemukakan oleh al Qâdhi ‘Iyâd. Sebagian dari mereka menguatkannya pula dengan firman Allah QS. Al Ahzab [33]: 33.


Pendapat ini ternyata tidak didukung oleh sebagian besar ulama walaupun mereka menyatakan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat. Ini antara lain dengan alasan bahwa istri Nabi saw., yaitu ‘Âisyah misalnya pernah memimpin perang melawan Syaidina Âli ra.,

Istri Nabi tersebut juga meriwayatkan- dalam konteks bolehnya wanita keluar rumah bahwa beliau pernah berkata kepada Nabi: Apakah wanita berjihad? Nabi saw., menjawab:

نَعَمْ عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاقِتَالَ فِيْهِ اْلحَجِّ اْلمَبْرُوْر

Dalam riwayat lain Nabi saw., bersabda:

لاَ, وَلَكِنْ أَفْضَلُ اْلجِهَادِ اْلحَجّ الْمَبْرُوْر

Dari ayat tersebut ditambah lagi dengan hadis Nabi yang telah dikemukakan di atas tadi yang menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan kekhususan kepada istri Nabi saw., dan disamping itu juga menyatakan bahwa selain menutup seluruh tubuh juga menutup diri sehingga menggunakan tabir kalau di dalam rumah atau kubah atau semacamnya kalau berada di luar rumah.[14]

Pemahaman ini menurut M. Quraish Shihab bukanlah berdasarkan bunyi teks secara tegas, tetapi semata-mata berdasarkan pemahaman dan logika masing-masing serta beberapa hadis Nabi juga tidak terlepas dari unsur pemahaman tersebut. Dari pemahaman tersebut menurut beliau kalau dibanding dengan pendapat-pendapat lain maka kita akan menemukan sejumlah ulama memahami ayat tersebut di atas berbeda dengan pemahaman yang lalu. Mereka itu tidak memahami kata hijâb dalam arti pakaian, tetapi tabir atau tirai karena bahasa tidak menggunakannya demikian[15]

Kemudian pada QS. Al Ahzab [33]: 59 yang menjadi dasar pokok tentang cara berpakain yaitu:

Adapun latar belakang turunnya ayat tersebut di atas adalah bahwa istri-istri Rasullulah pernah keluar malam untuk qadla hajat (buang air). Pada waktu itu kaum munafiqun mengganggu mereka dan menyakitinya. Hal ini kemudian diadukan kepada Rasullulah saw., sehingga Rasullulah menegur kaum munafiqin. Mereka menjawab: “Kami hanya menggangu hamba sahaya”. Akhirnya turunlah ayat ini sebagai perintah untuk berpakain tertutup, agar berbeda dari hamba sahaya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad di dalam at Thabaqat yang bersumber dari Abi Malik) dan (Dirwayatkan pula oleh Ibnu Sa’ad yang bersumber dari Hasan dan Muhammad bin Ka’b al Quradli)[16]

Di zaman Nabi ini para wanita yang hamba sahaya dan wanita merdeka hampir tidak bisa dibedakan mana wanita yang sudah merdeka maupun yang masih hamba sahaya. Firman Allah tersebutlah yang memerintahkan kepada Nabi agar istri-istrinya menjulurkan jilbabnya sampai ke dada agar berbeda dengan hamba sahaya. Seperti kita ketahui bahwa sebelum perintah tersebut para wanita waktu juga memakai jilbab tetapi jilbab mereka tidak sampai ke dada hanya berada diatas kepala, sehingga leher dan dada mereka kelihatan. Dari sinilah menunjukkan kepada kita bahwa Islam datang untuk merubah cara berpakaian orang zaman jahiliah.

Dari Asbab an Nuzul ayat tersebut menurut M. Quraish Shihab sebenarnya tidak memerintahkan wanita Muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kalau diperoleh dari redaksi ayat di atas menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya”. Ini berarti mereka telah memakai jilbab tetapi belum lagi mengulurkannya.[17]

Berkenaan dengan pakaian hamba sahaya, pernah suatu ketika di zaman pemerintahan Umar bin Khatab ketika beliau berada di Madinah al Munawarah ada seorang wanita yang biasa dipanggil Surur, sedangkan nama aslinya adalah Dimlamkah. Umar memerintahkannya untuk melepas jilbab yang ia pakai; begitu juga Umar ra., pernah melarang budak wanita memakai cadar pada masa pemerintahannya. Umar berkata: “cadar hanya untuk wanita-wanita merdeka”. Hal tersebut dilakukan Umar untuk menjaga adanya pamer dari wanita merdeka, dan tidak mencampuradukkan hal-hal yang tidak perlu, dan juga untuk menghindari dari gangguan terhadap wanita-wanita merdeka dari orang-orang yang usil. Karena gangguan itu tidak akan terjadi kecuali terhadap para budak baik pada zaman jahiliyah maupun pada masa Islam[18].

Adapun argumentasi penganut yang menyatakan bahwa seluruh badan wanita aurat pada intinya pada ayat ini terletak pada kalimatيُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيْبِهِنَّ. Menurut penganut pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita- tanpa kecuali adalah aurat, kata jilbab berarti pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang sedang dipakai sehingga jilbab bagaikan selimut. Hal tersebut dapat dilihat dalam tafsir al Kasysyaf karangan Zamakhsari dan juga di dalam tafsir ash Shafi karya Faidh mereka menyatakan bahwa ayat tersebut adalah kiasan menutup wajah dengan jilbab.[19]

Ayat ketiga yang paling sering dijadikan sebagai dasar wajibnya berjilbab adalah firman Allah dalam QS. An Nûr [24]: 30-31 berikut ini:

Di dalam ayat ini menurut M. Quraish Shihab banyak terdapat persoalan di antaranya yaitu:

1. Kata يَغُضُّوْا dan kandungan pesannya

Kata يَغُضُّوا terambil dari kata غَضُّ yang berarti menundukkan atau mengurangi dari potensi maksimalnya. Yang dimaksud disini mengalihkan arah pandangan dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang terlarang atau kurang baik. Abû Su’ud berkata: kata غضواmerupakan fi’il yang dibuang sedang يَغُضُّوا itu menjadi jawabannya. Pengungkapan seperti ini mengisyararatkan bahwa orang mukmin itu selalu bersegera dalam melaksanakan perintah Allah.[20]

Kata min ketika berbicara tentang abshâr menurut ulama yang mengatakan bahwa aurat wanita itu tidak termasuk muka dan telapak tangan seandainya menurutnya seluruh tubuh wanita aurat, tentu tidak diperlukan lagi perintah menundukkan pandangan atau mengalihkannya.

Namun, argumen tersebut ditolak oleh penganut paham yang menegaskan kewajiban menutup seluruh tubuh wanita tanpa kecuali. Mereka antara lain menyatakan bahwa ketika turunnya ayat di atas, masih ada sementara wanita-wanita di Madinah yakni wanita Yahudi atau hamba sahaya atau wanita-wanita (Arab) yang belum memeluk Islam dan mereka belum lagi mengenakan jilbab/ menutup wajah dan badan mereka. Oleh karena itulah orang mukmin diperintahkan untuk menutup pandangan mereka terhadap wanita-wanita yang bercadar itu.[21]

2. Kata زينة (zinah)

Yaitu yang menjadikan lainnya indah dan baik dengan kata lain perhiasan. Sebagian ulama membagi menjadi dua yaitu yang bersifat Khilqiyah (yang melekat pada diri seseorang) seperti wajah rambut dan payudara. Sedangkan yang kedua yaitu yang bersifat Mukhtasabah (yang diupayakan) seperti cincin, anting, kalung, dan sebagainya.

3. Pengecualian الا ماظهر منها

Para ulama berbeda pandapat memahami makna perhiasan yang tampak diantaranya Pakar tafsir al Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ulama besar Sa’Id Ibnu Jubair, ‘Athâ dan Al Auzâ’I berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan dan busana yang dipakainnya. Selain itu ada juga ulama di dalam Tafsir al Bughawi yang membolehkan wajah dan telapak tangan yang boleh dibuka yaitu ulama yang bernama ad Dahak[22]. Sedang sahabat Nabi saw., Ibnu Abbas, Qatadah, dan Miswar Ibnu Makhzamah, berpendapat bahwa yang boleh termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebeiasaan wanita Arab dihiasi/ diwarnai dengan pacar (yaitu semacam zat klorofil yang terdapat pada tumbuhan yang hijau) anting, cincin dan semacam. Al Qurtubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban menutup setengah tangan.[23] Sedangkan dalam tafsir Ibnu Araby sebagaimana dikutip oleh Ibnu Asyur bahwa hiasan Khilqiyah yang dapat ditoleransi adalah hiasan yang bila ditutup mengakibatkan kesulitan bagi wanita, seperti wajah, kedua tangan dan kedua kaki, lawannya adalah hiasan yang disembunyikan/ harus ditutup, seperti bagian atas kedua betis, kedua pergelangan, kedua bahu, leher dan bagian atas dada dan kedua telinga.[24]

Dalam memahami kata illa pun para ulama berbeda pendapat diantaranya yaitu ada yang memahami kata illa dengan arti tetapi atau dalam istilah ilmu bahasa Arab istisnâ munqathi’ dalam arti yang dikecualikan bukan bagian atau jenis yang disebut sebelumnya oleh karena makna yang tepat menurut mereka adalah janganlah mereka menampakkan mereka sama sekali tetapi apa yang nampak (secara terpaksa atau tidak disengaja seperti ditiup angin atau lain-lain) maka itu dima’afkan. Serta ada juga yang memahaminya tidak boleh nampak kecuali muka dan telapak tangan.

4. Kata خمر (Khumur) dan kandungannya pesannya

Kata khumur bentuk jamak dariخمار (Khimâr) yaitu tutup kepala. Sejak dahulu wanita menggunakan tutup kepala. Akan tetapi mereka tidak menggunakannya untuk menutup kepala tetapi membiarkan kain tersebut melilit dipunggung mereka. Oleh Karena itulah menurut M. Quraish Shihab ayat ini mengandung perintah agar mereka menutup kepala, leher dan dada.

5. Mengapa larangan yang ditujukan kepada perempuan lebih banyak dari pada yang ditujukan kepada laki-laki?

Alasan mengapa larangan banyak ditujukan kepada perempuan karena pada dasarnya perempuan lebih suka berhias dan berdandan daripada laki-laki yang dalam hal penampilan seadanya saja. Oleh karena itu wajarlah bahwa larangan menampakkan perhiasan yang nampak, menutup kain kerudung kedada mereka serta dilarang menghentakkan kaki agar menarik simpati para laki-laki.[25]

Selain mengemukakan beberapa pendapat para ulama terdahulu dengan merujuk kepada beberapa penafsiran pakar tafsir yang menerangkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat dan ulama yang mengecualikan wajah dan telapak tangan, M. Quraish Shihab juga menguraikan beberapa argumentasi pendapat ulama tersebut dengan menguraikan beberapa hadis[26] yang menyatakan seluruh tubuh wanita adalah aurat dan yang mengecualikan wajah dan telapak tangan.

  1. Argumentasi kelompok yang menyatakan seluruh badan wanita adalah aurat

عن ابن مسعود رضي الله عنه عن النبي (ص) قال : المرأة عورة فإذا خرجت إستشرفها الشيطان (رواه الترمزي وقال حسن غريب )

Menurut Imam at Turmuzi, hadis tersebut berderajat Hasan dalam arti perawinya kurang hapalannya dan gharib. Menurut Quraish Shihab walaupun hadis tersebut berderajat shahih tetapi tidak menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat karena kata wanita adalah aurat, dapat berarti bagian-bagian tertentu dari badan atau geraknya yang rawan menimbulkan rangsangan.

  1. Argumentasi kelompok yang mengecualikan wajah dan telapak tangan

حدثنا يعقوب بن كعب الأنطاكيُّ ومؤمل بن الفضل الحراني قالا: حدثنا الوليد, عن سعير بن بشير, عن قتادة, عن خالد قال يعقوب: ابن دريك, عن عائشة رضي الله عنها : أن أسماء بنت أبي بكر دخلت على رسول الله (ص) و عليها ثياب رقاق, فأعرض عنها رسول الله (ص) وقال : ياأسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلاَّ هذا وهذا (وأشار إلى وجهه وكفيه). (رواه أبو داود, وقال هذا مرسل خالد بن دريك لم يدرك عا ئشة, ورواه أيضا البيقي)[27]

Menurut ulama yang menyatakan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat, hadis tersebut tidak dapat dijadikan argumen, karena abu Daud sendiri-yang meriwayatkannya menilai hadis tersebut bersifat mursal. Karena Khâlid Ibn Duraik yang dalam sanadnya menyebut nama istri Nabi Âisyah ra. Sebagai sumbernya, Khalid tersbut tidak mengenal Âisyah secara pribadi, tidak juga semasa dengan beliau. Oleh karena itulah hadis tersebut dinilai mursal. Sedangkan hadis mursal ini tidak bisa dijadikan hujjah. Disamping itu juga bahwa hadis tersebut banyak memiliki beberapa kelemahan dari segi periwayat ada juga yang menyatakan lemah dari segi matan yaitu “Bagaimana mungkin Asmâ putri Abû Bakar ra. Sekaligus saudari Âisyah ra. Yang merupakan istri Rasullulah saw., dengan berpakaian tipis (transparan), apalagi Âsma adalah seorang wanita yang baik keberagamaan dan ketakwaannya?” tutur Muhammad Ismâ’il al Muqaddam yang menilai hadis tersebut lemah.

Sementara itu ada juga ulama menguatkan pendapat yang membolehkan menampakkan wajah dan tangan sampai dengan setengahnya, dengan menyebutkan hadis Nabi yaitu:

.....أنّ ألنّبي (ص) قال : لا يَحِلُّ لامْرِأةٍ تُؤْمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخِرِ إِذَا عَرَكَتْ أن تُظْهِرَ إلا وَجْهَهَا وَيَدَيْهَا إِلَى هَهُنَا (وَقَبَضَ نِصْفُ الذِّرَاعِ)

Syekh Nashruddin al Albâni sebagaimana yang dikutip oleh M. Quraish Shihab menguatkan hadis pertama yang mengecualikan wajah dan telapak tangan, sedangkan hadis yang kedua yang membolehkan terbukanya setengah tangan dilemahkannya.

Menurut M. Quraish Shihab dalam hal batasan aurat beliau memberikan pilihan bagi wanita muslimah bahwa bagi siapa yang mengakui ke Shahih-an hadis-hadis dan interpretasi yang dikemukakan oleh para ulama yang menyatakan bahwa sekujur badan wanita adalah aurat, apalagi jika ingin berhati-hati, maka hendaklah ia mengamalkan hadis tersebut. Akan tetapi bagi yang merasa tenang dengan pendapat yang lebih longgar dari pendapat tersebut maka tidak mengapa memakai pendapat yang menyatakan bahwa bagian tubuh yang boleh dibuka yaitu wajah dan telapak tangan. Namun dalam hal ini M. Quraish Shihab tidak cendrung mendukung pendapat yang meyatakan bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuh mereka. Karena lemahnya alasan mereka yaitu kalau ditutup maka gugurlah fungsi hiasan dan keindahan dalam berpakaian. Padahal Alquran sendiri menyebutkan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah sebagai hiasan. [28]

2. Pandangan Ulama Kontemporer

Sebelum M. Quraish Shihab memaparkan beberapa pandangan ulama kontemporer tentang batasan aurat terkait juga dengan dalam hal ini jilbab beliau berpesan bahwa pandangan mereka yang dianggap longgar tersebut janganlah langsung diamalkan cukuplah hanya sekedar pengetahuan saja serta jangan serta merta pula menuduh mereka telah murtad.[29]

Pandangan ulama kontemporer ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

  1. Kelompok yang mengemukakan pendapatnya tanpa dalil keagamaan ataupun kalaupun ada, maka itu sangat lemah lagi tidak sejalan dengan kaidah-kaidah dan disiplin ilmu agama.
  2. Kalompok yang merujuk kepada kaidah-kaidah keagamaan yang juga diakui oleh para ulama, hanya saja dalam penerapannya antara lain dalam konteks pakaian atau aurat, tidak mendapat dukungan ulama terdahulu dan ulama kontemporer.

Kelompok pertama, pandangan kelompok pertama dapat dilihat di bukunya Nawal as Sa’dawi dan Hibah Ra’ûf ‘izzat dalam bukunya al Mar’ah Wa ad Din wa al Akhlaq, yaitu ada yang mengatakan bahwa pakaian tertutup merupakan salah satu bentuk perbudakan dan lahir ketika lelaki menguasai dan memperbudak wanita dan juga ada yang berkata bahwa: “Hijab yang bersifat material (pakain tertutup) atau yang bersifat immaterial (atau keduanya bersama-sama) telah menutup keterlibatan perempuan dalam kehidupan politik, agama, akhlak dan lain-lain .

Begitu juga dapat dilihat dalam bukunya Muhammad Syahrur yaitu al Kitab wa al Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah dan Nahwa Ushul Jadîdah Li al Fiqh al Islâmi yaitu dalam konteks pakaian, Syahrur menjelaskan bahwa: “Pakaian tertutup yang kini dinamai hijab (jilbab) bukan kewajiban agama tetapi ia adalah satu bentuk pakain yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan lingkungan serta dapat berubah dengan perubahan masyarakat.[30]

Disamping itu juga Syahrur menyetujui pendapat dari Dr. Najwân Yasin yang menegaskan bahwa ayat surat al Ahzab [33]: 59 adalah dalam hal perbedaan antara hamba sahaya dan merdeka menurutnya berarti upaya melakukan suatu tindakan dan pengaturan guna menanggulangi suatu situasi khusus dan tersendiri yang terjadi dalam masyarakat Madinah.

Adapun dalam konteks perempuan, cendikiawan ini berpendapat bahwa hiasan pada dasarnya menjadi tiga yaitu, pertama, hiasan dalam bentuk menambahkan ha-hal pada sesuatu atau pada tempat sesuatu. Kedua, hiasan pada tempat sesuatu. Ketiga, hiasan pada tempat sekaligus pada sesuatu.

Hiasan pada tempat sesuatu ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu perhiasan yang jelas atau nyata yaitu bagian badan yang nampak ketika ia diciptakan seperti kepala, perut, punggung, kedua kaki dan kedua tangan. Hal ini menurutnya karena Allah menciptakan lelaki dan perempuan tanpa busana. Sedangkan yang tersembunyi tersebut menurutnya adalah apa yang diistilahkan oleh Alquran yaitu juyûb. Juyûb pada perempuan yaitu lubang dari dua tingkat yaitu; kedua paha, kedua payudara, apa yang di bawah payudara, yang di bawah perut, kemaluan dan sisi pantat. Bagian itulah yang harus ditutup oleh perempuan mukminah beradasarkan firmannya Qs an Nur 31


Pandangan Syahrur tersebut M. Quraish Shihab mempunyai beberapa kelemahan diantaranya yaitu:

1. Dari sisi kebahasaan, sebenarnya Syahrur lengah sehingga tidak menyadari bahwa bentuk jamak yang digunakan ayat di atas baik pada kata juyûb maupun khumur disesuaikan dengan bentuk uraiannya tentang wanita yakni hendaklah mereka para wanita yang banyak itu menggunakan penutup-penutup kepala masing-masing atas lubang-lubang baju mereka masing-masing untuk menutupi dada mereka yang terbuka.

2. Semua riwayat yang berkaitan dengan sebab turun penggalan ayat di atas, kesemuanya dikaitkan dengan kenyataan bahwa ketika itu wanita mengenakan baju yang berlubang bagian atasnya.

3. Pakaian wanita yang sebelum turunnya perintah ayat di atas tadi tidak memiliki bagian-bagian terbuka kecuali satu tempat memasukkan kepala sehingga, bila wanita-wanita tersebut berpakain, maka buah dada mereka kelihatan. Jadi, juyûb tersebut tidak bisa diartikan banyak lubang tetapi hanya satu lubang.

Kelompok kedua, kelompok ini menggunakan kaidah-kaidah keagamaan seperti menggunakan Alquran dan hadis. Akan tetapi mereka dalam penerapan Alquran dan hadis tersebut mereka memakai pendapat yang lebih longgar karena mereka berpendapat bahwa agama tidak menghendaki adanya musyaqqah. Oleh karena itu lahirlah menurut mereka rumus yang meyatakan bahwa إذا ضاق الشيئ إتسع yang berarti begitu sesuatu telah menyempit yakni sulit, maka segeralah lahir kelapangan yakni kemudahan. Sebagaimana firman Allah QS. Al Baqarah [2]: 185 yaitu:


Adapun hadis Nabi, mereka hanya mengambil hadis yang shahih saja sedangkan selain hadis shahih tidak diambil pegangan oleh mereka.

Pandangan kontemporer ini diantaranya yang dikemukakan oleh Muhammad Sa’id Asymawi yang merupakan Hakim Agung Mesir berkenaan makna ayat QS. An Nûr [24]: 34 berikut ini yaitu:

Ayat tersebut menurut Asymawi merupakan turun sebagai pembeda antara kaum hamba sahaya dengan wanita merdeka oleh karena itulah beliau berpendapat bahwa ketetapan hukum dalam setiap perintah di atas merupakan ketetapan hukum sementara yang berkaitan dengan masa dimana ketika itu dikehendaki adanya pemisahan dan bukannya satu ketetapan hukum yang abadi.[31]

Begitu juga ketika dia menguraikan pendapatnya tentang QS. Al Ahzab [33]: 59 yaitu:

Menurutnya ‘illat hukum pada ayat tersebut adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak terhormat agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan juga agar mereka (yang merdeka) tidak diganggu oleh para lelaki yang usil. Akan hal tersebut Asymawi berpendapat bahwa karena ‘illat tersebut tidak ada lagi pada masa kini yaitu tidak ada lagi hamba sahaya dan para wanita tidak lagi membuang air di padang pasir maka ‘illat tersebut tidak ada lagi. Sebagaimana dalam ushul fiqh menyatakan bahwa “ketetapan hukum selalu berbarengan dengan ‘illat dalam keberlakuan hukum itu atau ketidakberlakuannya’. Maka oleh Karena itulah ketetapan hukum pada ayat tersebut di atas menjadi batal dan tidak berlaku lagi.

Pendapat Asymawi tersebut di bantah oleh Muhammad Sayyid Tantâhwi yang merupakan Mufti Mesir karena ayat tersebut menurutnya sudah jelas menyuruh istri-istri beliau, anak-anak perempuan beliau dan wanita-wanita muslimah agar memperhatikan al Hisymah[32] dalam segala keadaan mereka. Dan juga menurut Tantâhwi apa yang disebut ‘illat oleh Asymawi sebenarnya adalah hikmah bukan ‘illat. Karena hukum tersebut tidak bisa diukur sedangkan sesuatu dapat dinamakan ‘illat apabila hukum tersebut dapat diukur.

M. Quraish Shihab ketika memberikan pendapatnya terhadap pemikiran al Asymawi yang menyatakan bahwa ia menerima pendapat dari al Asymâwi tentang ‘illat ayat tersebut yaitu mewujudkan perbedaan antara wanita mukminah dengan hamba sahaya.

Al Asymawi juga dalam hal ini sangat berani mengatakan bahwa tidak wajibnya berjilbab karena menurutnya ayat-ayat yang menerangkan tentang kewajiban berhijab dan jilbab tidak mengandung ketetapan yang pasti atau qath’i dan juga menurutnya seandainya salah satu dari ayat-ayat tersebut mengandung makna kepastian tentu tidaklah dibutuhkan adanya penegasan tentang hukum itu untuk kedua kalinya dan pada ayat lain.

M. Quraish Shihab di dalam catatan kakinya pada bukunya Jilbab Pakain Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer menyatakan bahwa “Apa yang dikemukakan oleh al ‘Asymâwi meyangkut ketidak qath’i –an kewajiban berjilbab adalah benar adanya, walau harus diakui pula bahwa sekian banyak hal yang disepakati oleh ulama sebagai perintah wajib sifatnya walaupun bukan qath’i.

Berkenaan dengan hadis Nabi yang memberikan batasan-batasan aurat yaitu diantaranya yaitu:

حدثنا يعقوب بن كعب الأنطاكيُّ ومؤمل بن الفضل الحراني قالا: حدثنا الوليد, عن سعير بن بشير, عن قتادة, عن خالد قال يعقوب: ابن دريك, عن عائشة رضي الله عنها : أن أسماء بنت أبي بكر دخلت على رسول الله (ص) و عليها ثياب رقاق, فأعرض عنها رسول الله (ص) وقال : ياأسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلاَّ هذا وهذا (وأشار إلى وجهه وكفيه). (رواه أبو داود, وقال هذا مرسل خالد بن دريك لم يدرك عا ئشة, ورواه أيضا البيقي)[33]

Dan juga dengan hadis:

.....أنّ ألنّبي (ص) قال : لَا يَحِلُّ لامْرِأةٍ تُؤْمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخِرِ إِذَا عَرَكَتْ أن تُظْهِرَ إلَّا وَجْهَهَا وَيَدَيْهَا إِلَى هَهُنَا (وَقَبَضَ نِصْفُ الذَّرَاعِ)

Hadis tersebut menurut al ‘Asymawi berkualitas ahad yang fungsinya hanya sebagai tuntunan, anjuran, dan pendukung, bukannya berfungsi menetapkan hukum, tidak juga membatalkan satu hukum syari’at. Disamping itu juga dia menambahkan bahwa hadis tersebut kelihatannya terjadi kontradiksi yaitu pada hadis pertama menyebutkan bahwa batasan aurat wanita muka dan setengah tangan dan hadis yang kedua menyebutkan batasan aurat wanita hanya muka dan telapak tangan dan juga redaksi hadis as Shalah yang artinya kewajaran yaitu hanya bersifat sementara bukan abadi.

Menurut M. Quraish Shihab hadis tersebut baru menjadi tegas kalau hadis tersebut berkualitas shahih yang mengecualikan wajah dan telapak tangan yang boleh dibuka.

C. Hasil Interpretasi M. Quraish Shihab Dalam Menafsirkan Ayat-ayat Jilbab.

Setelah M. Quraish Shihab memaparkan secara panjang lebar tentang beberapa pandangan ulama masa lalu dan ulama kontemporer tentang masalah batasan-batasan aurat terkait juga dengan masalah jilbab. Maka beliau memberikan kesimpulan yang kiranya banyak diantara para ulama maupun cendikiawan muslim sekarang yang kurang sependapat dengan penafsiran beliau.

Namun, sebelum penulis memberikan hasil interpretasi dari beberapa pendapat M. Quraish Shihab tersebut ada baiknya penulis memberikan suatu informasi bahwa apa yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab tidaklah mutlak dari pendapatnya sendiri. Karena seperti kita ketahui sebelumnya bahwa beliau banyak mengutip pendapat-pendapat ulama masa lalu dan ulama kontemporer. Akan tetapi dari beberapa pendapat ulama tersebut M. Quraish Shihab cendrung kepada pendapat ulama kontemporer yang dinilai lebih longgar dalam menetapkan hukum batasan-batasan aurat.

Diantara hasil interpretasi yang diberikannya tentang batasan-batasan aurat dan juga terkait juga dengan jilbab adalah:

Pertama, dalil berkenaan tentang batasan-batasan aurat yang bersumber dari Alquran dan hadis bersifat zhan bukan qath’i karena menurutnya seandainya ada hukum yang pasti dari kedua sumber tersebut yaitu Alquran dan hadis tentu mereka tidak berbeda pendapat dan juga tidak menggunakan nalar mereka dalam memahami dalil tersebut. Sedangkan pendapat manusia tidak bersifat mutlak kebenaranya karena yang muthlak kebenarannya hanya dari Allah.

Kedua, hadis yang dipakai dalam menentukan batasan-batasan yang bersumber dari ‘Aisyah tidak mencapai derajat mutawattir hanya sampai pada derajat hadis ahad[34] dan para ulama masih memperselisihkan kualitas hadis tersebut.

Ketiga, wanita yang menutup seluruh badannya dan yang mengecualikan wajah dan telapak tangan mereka telah menjalankan perintah ayat-ayat yang menerangkan tentang hijab dan jilbab. Adapun bagi mereka yang tidak memakai kerudung atau jilbab atau membuka setengah tangannya, jangan menuduh mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama[35] karena Alquran tidak secara tegas menentukan batasan aurat dan para ulama pun berbeda pendapat tentang masalah tersebut dan juga pendapat ulama tersebut mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta pertimbangan nalar mereka.

Diakhir pembahasan tentang jilbab beliau berpesan bahwa:

Kehati-hatian dibutuhkan, karena pakaian lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian pun batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai hamba Allah.tentu saja Allah yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik bagi manusia.[36]

Dari beberapa hasil interpretasi tersebut beliau sayangnya tidak mentarjih dari beberapa pendapat ulama baik dari ulama masa lalu maupun ulama kontemporer. Beliau hanya memberikan beberapa pilihan apakah memakai pendapat yang menyatakan seluruh tubuh wanita adalah aurat atau pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada keharusan memakai jilbab[37] dan membuka setengah tangan. Akibat dari beberapa penafsiran M. Quraish Shihab itulah akhirnya para cendikiawan muslim angkat bicara dalam menanggapi pendapat beliau tersebut yang dianggap ganjil oleh sebagian kalangan.



[1] Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. III, h.363.

[2] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), Edisi III, cet. 3, h. 490.

[3] Mogar Syah Moede Gayo, Kamus Istilah Agama Islam (KIAI), (Jakarta: Progres, 2004), h. 250.

[4] M. Abdul Mujieb, et.al., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h.140.

[5] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku ilmiah keagamaan, 1984), h. 215.

[6] Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Mandzur al Fariqy al Misry, Lisanul Arab, Jilid I, (Beirut: Dar al Fikr, 1994), Cet. III, h. 273.

[7] Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.820.

[8] HAMKA, Tafsir al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), juz. XXII, h. 96.

[9] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh H. Salim Bahresy dan H. Said Bahresy, dengan Judul Terjemah Singkat Ibnu Katsir, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990), Jilid 6, h. 333.

[10] Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar, et.al., dengan judul Terjemah Tafsir Al Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1992), cet. I, h. 61.

[11] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakain Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer, op. cit., h. 64.

[12] M. Quraish Shihab, Tasfsir al Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 15, h. 309-310.

[13] M. Quraish Shihab, JIlbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, op. cit., h. 57.

[14] Ibid, h. 57-59.

[15] Ibid, h. 60.

[16] Qamaruddin Shaleh, et. al., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat al Qur’an, (Bandung: CV. Diponegoro, 1989), h. 409.

[17] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. IV, Vol. II, h. 320.

[18] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mausu’ah Fiqhi Umar Ibnil Khatab, diterjemahkan oleh M. Abdul Mujieb As, et.al., dengan Judul Ensklopedi Fiqh Umar bin Khatab, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 148.

[19] Husein Shahab, Jilbab Menurut Al Qur’an Dan Sunnah, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), cet. XXII, h. 78.

[20] Muhammad Ali Ash-shabuni, Rawâi’u al Bayân Tafsir Ayat Ahkam Min Al Qur’an, yang diterjemahkan oleh Mu’mal Hamidy dan Imron A. Manan. dengan judul Terjemah Ayat Ahkam Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1992), h.237.

[21] M. Quraish Shihab, op.cit., h. 69.

[22] Abi Muhammad Husain bin Mas’ud al Fara’, Ma’alimut Tanzil Fi at Tafsir wat Ta’wil, (Beirut: Dar al Fikr, 1992), Juz 4, h. 193.

[23] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, (Jakarta: Lentera hati, 2002), h.331. Lebih jelasnya lagi Lihat Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Jilid VIII, (Beirut: Dar al Fikr, 1995), h.211.

[24] M. Quraish Shihab, JIlbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, op. cit., h. 70.

[25] M. Quraish Shihab, JIlbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, op.cit., h. 76.

[26] Hadis yang penulis uraikan dalam tulisan ini hanya sebagian dari pendapat ulama yang meyatakan seluruh badan aurat dan yang mengecualikan wajah dan telapak tangan. Untuk lebih jelasnya lagi Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, (Jakarta: Lentera hati, 2004) pada pembahasan As Sunnah dan Batas Aurat Wanita.

[27] Abu Daud Sulayman bin al Ats’ats as Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al Fikr, 1993), jilid II, h. 276

[28] M. Quraish Shihab, op.cit,. h. 106-107.

[29] Ibid, h. 111.

[30] Ibid, h.118

[31] Ibid, h. 145.

[32] Al Hisymah artinya kesopanan, ketertutupan dan rasa malu.

[33] Abu Daud Sulayman bin al Ats’ats as Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al Fikr, 1993), jilid II, h. 276

[34] Para ulama juga berbeda pendapat tentang bolehnya beramal dengan hadis ahad . golongan Qadariyah, Rafidah, dan sebagian Ahli Zhahir mereka menetapkan bahwa beramal dengan hadis ahad tidak wajib. Begitu juga dari golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa beramal dengan hadis ahad tidak wajib kecuali hadis yang diriwayatkan oleh dua orang dan yang diterima dari dua orang. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al Jauzi berpendapat lain bahwa hadis ahad bisa saja diterima apabila mempunyai tiga segi keterikatan sunnah dengan Alquran diantaranya. Pertama, kesesuain terhadap ketentuan yang terdapat dalam Alquran. Kedua, menjelaskan maksud Alquran. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam Alquran. Alternatife ketiga inilah yang menurutnya yang ditetapkan Rasullulah.

[35] M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, op. cit., h.179.

[36] M. Quraish Shihab, op.cit., h. 32.

[37] Taufik Abdullah, et.al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h.55.

BAB IV

KRITIK CENDIKIAWAN MUSLIM ATAS PENAFSIRAN

M. QURAISH SHIHAB TENTANG AYAT-AYAT JILBAB

Buku M. Quraish Shihab yang berjudul “Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu Dan Cendikiawan Kontemporer” dan beberapa buku beliau yang membahas tentang jilbab yang menjadi buku yang kontroversi dan banyak menuai kritikan oleh para cendikiawan muslim Indonesia. Buku beliau tersebut telah 2 (dua) kali dibedah, yaitu: pertama, pada hari Kamis (21/09/2006). Tempatnya di Pusat Studi Al-Qur’an. Ciputat, Lembaga yang dipimpin oleh M. Quraish Shihab sendiri. Hadir sebagai pembicara pada waktu itu adalah M. Quraish Shihab, Eli Maliki, Jalaluddin Rakhmat dan Adian Husaini. Dan yang bertindak sebagai Moderator adalah Mukhlis Hanafi.

Kedua, di Mesir, pada hari Selasa, (28/3/06) yang diadakan oleh Forum Studi Al Qur’an (FORDIAN) dan Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah Islamiyah Kairo (SEMAFSI) yang bertempat di Aula Wisma Nusantara. Acara itu dimoderatori oleh Romli Syarqowi, (Mahasiswa Program Magister, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar). Adapun para pembedahnya yaitu Mukhlis Hanafi (Doktor Tafsir dan Ilmu Al Qur’an, lulusan al Azhar Kairo, Zaen An Najah (Mahasiswa Program Doktoral bidang fiqh, al Azhar) dan Aep Saipullah Darusmanwiati, (Mahasiswa Program Magister, Jurusan Ushul Fiqh, Universitas al Azhar).

Dari kedua acara bedah buku M. Quraish Shihab tersebut hanya 4 (orang) saja yang penulis muat dalam skripsi ini yaitu: Eli Maliki, Mukhlis Hanafi, Adian Husaini dan Aep Saifullah Darusmanwiati.

A. Kritik Cendikiawan Muslim Terhadap M. Quraish Shihab

1. Eli Maliki

a. Biografinya

Eli al Maliki adalah doktor bidang fiqh dan juga merupakan doktor lulusan Al Azhar.[1]

b. Kritiknya Terhadap M. Quraish Shihab

Sebenarnya yang menjadi pembicara sebelum Ibu Eli Al Maliki yang ditunjuk adalah Bapak Anwar Ibrahim yang merupakan anggota Komisi Fatwa MUI tetapi karena beliau tidak bisa hadir, maka orang yang menggantikan beliau adalah Eli Maliki.

Berkenaan pendapat M. Quraish Shihab yang mengatakan bahwa ayat di dalam Alquran yaitu pada QS. An Nûr [24]: 31 yaitu:

Dan juga pada QS. Al Ahzab [33]: 59 yaitu:


Eli Maliki menjelaskan bahwa di dalam kedua ayat tersebut sebenarnya sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita yaitu seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Menurutnya lagi bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda hanyalah pada masalah apakah wajah dan telapak tangan yang wajib ditutup. Sebagian mengatakan wajib menutup wajah dan sebagian lagi menyatakan wajah boleh dibuka.

Adapun ulama yang menganggap wajah dan telapak tangan bukan aurat yaitu; Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil Muslimah fil Kitab wa Sunnah dan mayoritas ulama al azhar, serta beberapa ulama empat madzhab sepakat bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat bila sekiranya tidak menimbulkan fitnah. Sedangkan ulama yang menganggap wajah wajib ditutup atau dalam hal ini kewajiban bercadar bagi wanita adalah ulama Arab Saudi yaitu Syekh Abdul Aziz bin Baz dan juga Abû A’la Maududi dalam kitabnya al Hijab.[2]

Eli Maliki juga menyayangkan sikap M. Quraish Shihab yang sama sekali tidak mentarjih salah satu pendapat dari para ulama yang telah dikemukakannya dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat luas untuk memilih pendapat yang bermacam-macam itu. Padahal menurutnya lebih lanjut bahwa tugas ulama adalah membimbing masyarakat, dengan menunjukkan mana pendapat yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lain karena sebagaimana kita ketahui bahwa ulama adalah pewaris para Nabi untuk menyampaikan risalah agama Islam kesegenap umat manusia.

Beliau juga mengkritik pendapat Quraish yang menyatakan, bahwa Perintah mengenakan jilbab adalah bukan berarti sebuah kewajiban[3]. Karena setiap perintah itu bisa juga berupa anjuran seperti dalam QS. Al Baqarah [2]: 282. begitu juga di dalam hadis Nabi tentang perintah mendo’akan orang bersin apabila ia mengucapkan al Hamdulillâh atau perintah mengunjungi orang sakit, yang hanya merupakan anjuran yang sebaiknya dilakukan bukan seharusnya”[4]. padahal menurutnya ayat tentang perintah mengenakan jilbab itu sudah tegas dan jelas menyuruh para muslimah untuk memakai jilbab.[5]

2. Mukhlis Hanafi

a. Biografinya

Mukhlis Hanafi adalah doktor muda bidang tafsir Alquran, gelar doktor ini diraihnya pada usia 35 tahun di Universitas al Azhar. Adapun disertasinya berjudul al Burhan wa Qawathi Bayan fi Ma’ani al Qur’an, Dirasah wa Tahqiq (Studi Filologi yang meliputi editing naskah, komentar, analisa dan kritik). Mukhlis Hanafi meneliti manuskrip yang ditulis oleh Imam al Ma’ani, salah seorang ahli tafsir abad ke Lima hijriyah (w. 537).

Disertasinya setebal 1.423 halaman itu akhirnya berhasil diujikan dimuka Dewan Penguji dengan hasil yang gemilang yaitu summa cumlaude, hasil yang sama pernah juga pernah diraih gurunya yaitu M. Quraish Shihab. Mukhlis Hanafi yang merupakan putra Betawi ini yang lahir 18 agustus 1971 ini adalah doktor tafsir kelima dari al Azhar.

Setelah kembali ke Indonesia, alumni Pondok Pesantren Modern Gontor ini langsung mendapat amanah berat. Baik dari tempat kerjanya, UIN syarif Hidayatullah, Pusat Studi Alquran, maupun dari Depertemen Agama. Di Departemen Agama inilah akhirnya Mukhlis ditunjuk sebagai konsultan di bidang kerja sama luar negri untuk pendidikan tinggi wilayah Timur Tengah.[6]

b. Kritiknya Terhadap M. Quraish Shihab.

Mukhlis Hanafi yang merupakan doktor tafsir yang ke-lima dan juga merupakan murid dari M. Quraish Shihab, dalam hal ini menyampaikan pendapat yang berbeda dengan gurunya. Contohnya pada pendapat M. Quraish Shihab yang menyatakan bahwa tidak ada keharusan bagi wanita memakai jilbab dan dalil-dalil baik dari Alquran dan hadis yang berkenaan dengan hijab dan jilbab bersifat zhan bukan qathi dan juga para ulama juga masih berbeda pendapat tentang masalah tersebut. Dia secara tegas tidak sependapat dengan gurunya dengan menyatakan bahwa praktik shahabiyat (para sahabat wanita) yang memakai jilbab tidak disanggah oleh Nabi, bahkan dikuatkan.

Pemahaman para shahabiyin, serta penerimaan ummat dari generasi ke generasi, secara keseluruhan menjadi bukti dan qarinah (benang merah) bahwa apa yang dimaksud dengan ayat hijab dan jilbab adalah para wanita harus menutup seluruh tubuh tanpa kecuali, atau dengan pengecualian wajah dan telapak tangan ditambah kelonggaran sedikit; setengah tangan dan kedua kaki tidak lebih dari itu. Lebih lanjut lagi menurutnya tidak ada ulama yang diakui otoritasnya baik dalam masalah fiqh maupun tafsir berpendapat bahwa rambut, leher, betis dan lainnya boleh dibuka.

Mukhlis menyatakan bahwa pendapat yang diambil dari gurunya tersebut tidak memiliki otoritas dalam bidang tersebut. Seharusnya pendapat yang seharusnya diambil gurunya tersebut adalah pendapat dari ulama yang keilmuan tidak diragukan lagi seperti Imam empat madzhab maupun Imam Nawawi yang telah diakui keilmuannya oleh dunia Islam.

Adapun pendapat ulama atau cendikiawan kontemporer yang menjadi rujukan M. Quraish Shihab adalah Muhammad Syahrur, Nawal as Sa’dawi dan Hibah Ra’ûf ‘izzat, serta Muhammad Sa’id al Asymawi. Diantara cendikiawan kontemporer tersebut yang sering dikutip oleh Quraish Shihab adalah Muhammad Sa’id al Asymawi. Dalam hal ini Quraish Shihab menyatakan pendapat yang sama dengan al Asymawi yaitu bahwa perintah memakai jilbab bukan suatu kewajiban. Karena menurutnya ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewajiban jilbab sangat terkait dengan konteks tertentu (asbab an Nuzulnya) dan konteks ini hendaknya menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan hukum.

Untuk membantah pendapat Asymawi tersebut Mukhlis Hanafi mempunyai dua hal yang perlu kita perhatikan yaitu;

Pertama, rangkaian sebelum dan sesudah ayat jilbab dan hijab dalam surah an-Nûr dan al-Ahzâb, menunjukkan bahwa alasan diwajibkannya memakai jilbab adalah demi al-Hisymah (menjaga kehormatan wanita agar tetap terpuji), bukan sekedar untuk membedakan mana wanita merdeka dan mana yang hamba sahaya.

Kedua, istilah asbab an Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Alquran), dalam tradisi Ulama Islam tidak dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), yang berarti kalau peristiwa itu tidak turun, maka ayatnya tidak turun. Tapi lebih berperan sebagai peristiwa/ audio visual (alat peraga) yang mengiringi turunnya ayat. Selain itu, mengkhususkan lafal ayat Al-Quran hanya berlaku pada kasus tertentu, tidak bersifat umum, berarti menzalimi lafal itu sendiri.[7]

Meskipun kelihatannya Mukhlis Hanafi berbeda pendapat dengan gurunya, ia tetap menjalin hubungan baik dengan gurunya tersebut. Dia juga menambahkan bahwa perbedaan pendapat itu biasa, akan tetapi menurutnya harus didasari dengan hujjah dan kritik ilmiah, bukan emosional. Hal tersebut ditunjukkan oleh M. Quraish Shihab, meski dirinya mengkritik, namun gurunya tidak sakit hati malahan Mukhlis Hanafi termasuk orang kepercayaan gurunya tersebut.

3. Adian Husaini

a. Biografinya.

Adian Husaini lahir di Bojonegoro tanggal 17 Desember 1965. Dia adalah Ketua Dakwah Islamiyah Indonesia, Sekretaris Jendral Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama dan Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus Majelis Tabligh Muhammadiyah.

Adian Husaini memperoleh pendidikan Islamnya dari Madrasah Diniyah Nurul Ilmi Bojonegoro (1981), Pondok Pesantren Ar Rasyid Kendal Bojonegoro (1981-1984), Pondok Pesantren Ulil Albab Bogor (1988-1989), dan Lembaga Pendidikan Bahasa Arab, LIPIA Jakarta (1988). Gelar sarjananya dibidang Kedokteran Hewan diraih dari IPB, sedangkan gelar Master dalam bidang hubungan International diperoleh dari Pasca Sarjana Program Hubungan International Universitas Jayabaya Jakarta, dengan Tesis Berjudul Pragmatisme Politik Luar Negri Israel. Saat ini sedang menempuh pendidikan program doktor di Institut of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malasyia (ISTAC-IIUM) dalam bidang pemikiran dan peradaban Islam.

Salah satu aktivitas ilmiah dan organisasinya adalah sebagai peneliti di Indonesian society for Middle East Studies (ISMES) Jakarta, Institute for the strudy of Islamic thought and Civilization (INSIST), dan Staf di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PKTTI-UI) Jakarta.

Ia juga pernah menjadi Guru Biologi, Wartawan Harian Berita Banua Jakarta, Harian Republika Jakarta, dan Analis berita di Radio Muslim FM Jakarta, serta Dosen Jurnalistik dan pemikiran Islam di Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Dosen (luar biasa mata kuliah Islamic Worldview) di Pasca Sarjana Program Studi Timur Tengah dan Islam-Universitas Indonesia, dan Pesantren Tinggi (Ma’had ‘Aly) Husnayain Jakarta. Selain itu juga dia menjadi Penulis tetap Program “Catatan Akhir Pekan Adian Husaini” di Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com.

Produktivitasnya dalam menulis buku cukup tinggi dengan kebanyakan karyanya bersifat kontrainformasi terhadap maraknya gerakan Liberalisme Islam (khususnya di Indonesia). Buku yang telah ditulis Adian Husaini telah ditulis lebih dari 20 judul buku diantaranya yaitu: “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi” (2006). Buku ini terpilih menjadi yang terbaik ke-2 dalam Islamic Book Fair tahun 2007. Pada forum yang sama setahun sebelumnya. Bukunya yang berjudul “Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal” (2006) menjadi buku non-fiksi yang terbaik. Dan buku dia yang lainya yaitu Pragmatisme Politik Luar Negeri Zionis Israel (2003), Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (2002), dan Pluralisme Agama-agama (DDI, 2006). [8]

b. Kritiknya terhadap M. Quraish Shihab

Dalam diskusi tersebut Adian Husaini menjadi pembicara dalam membedah buku M. Quraish Shihab yang bertempat di Pusat Studi Al Qur’an, Ciputat. Menanggapi pendapat M. Quraish Shihab tersebut Adian Husaini juga menolak pendapat dari bapak Quraish yang mengatakan bahwa masalah jilbab adalah masalah khilafiyah. Padahal menurut Adian Husaini perbedaan pendapat mereka itu tidak terlepas dari apakah muka dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan tangan jika ada hajat yang mendesak.

Menurutnya lagi bahwa kesimpulan yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab yang menyatakan bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah, seyogyanya perlu diklarifikasi lagi karena perbedaan mereka tidak lebih dari apakah muka dan telapak tangan wajib ditutup, dan ulama sepakat bahwa bagian yang boleh nampak hanyalah muka dan telapak tangan.[9]

Adapun yang menurut M. Quraish Shihab bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, “local” dan “temporal”. Adian Husaini mengatakan bahwa kesimpulan itu cukup riskan karena bisa menimbulkan penafsiran baru terhadap hukum-hukum Islam lainnya sesuai dengan asas lokalitas, seperti yang banyak dilakukan sejumlah orang dalam menghalalkan perkawinan antara Muslimah dengan laki-laki non Muslim dengan alasan QS. Al Mumthahanah [60]: 10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab didominasi oleh laki-laki. Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki di rumah tangga-sesuai dengan perinsip gender equlity –maka hukum itu sudah tidak relevan lagi. Dari pendapat ulama yang otoratif dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang aurat wanita dan pakaian wanita bersifat universal berlaku untuk semua Mukminat.

4. Aep Saipullah Darusmanwiati, S Ag.

a. Biografinya

Aep Saipullah Darusmanwiati merupakan Mahasiswa asal Ciamis yang sekarang sedang menyelesaikan Thesis di Pasca Sarjana Universitas al Azhar Kairo Jurusan Ushul Fiqh. Selain itu beliau juga merupakan Penasehat Perwakilan PERSIS Mesir.

b. Kritiknya terhadap M. Quraish Shihab.

Aep Saipullah dalam menanggapi hasil penafsiran M. Quraish Shihab memberikan beberapa catatan penting buat Quraish Shihab diantaranya:

Pertama, M. Quraish Shihab dalam bukunya tersebut banyak menghidangkan pendapat pakar tentang persoalan jilbab tanpa menetapkan satu pilihan yang jelas. Sebagaimana pernyataan beliau bahwa “hingga saat itu penulis belum lagi dapat mentarjihkan setelah dari sekian pendapat yang beragam itu”.[10]

Menurut Saipullah kata “itu” mempunyai banyak pemahaman atau tafsir namun, paling tidak mengisyaratkan bahwa Quraish belum mentarjih salah satunya. Terlebih harus diakui, dalam radd kepada ulama dahulu, atau ketika mengungkapkan tafsiran baru, Quraish tidak menyebutkan siapa cendikiawan yang berpendapat seperti itu. Sehingga hal itu menimbulkan praduga bahwa sesungguhnya pendapat tersebut adalah pendapat Quraish. Beliau juga dalam hal ini untuk terlepas dari perdebatan pendapat tersebut beliau menggunakan kalimat ‘sementar ulama’ atau ‘Sementara cendikiawan’ atau ‘Sementara orang’.

Kedua, kekurangtepatan M. Quraish Shihab dalam mengutip atau menyandarkan pendapat.

Di dalam kata pengantar M. Quraish Shihab menulis bahwa Imam Syatibi dalam bukunya al Muwafaqat mengatakan bahwa Syari’ah itu ummiyah. Dan yang dimaksud dengan syari’ah ummiyah adalah bahwa Syari’ah harus dipahami sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi saw.[11] Padahal sebenarnya menurut Saipullah syari’ah ummiyah yang dimaksud oleh Imam Syathibi adalah syariah agama Islam ini dapat dipahami oleh siapa saja, tidak memerlukan perangkat ilmu seperti matematika, kimia dan lainnya.

Selain itu, menurut Aep Saipullah bahwa di dalam buku Quraish tersebut banyak mengutip dari pendapat Muhammad Sa’id Asymawi. Apalagi ketika beliau mengemukakan argumen dari beberapa pendapat cendikiawan kontemporer maka, sangat jelas kita akan mendapati bahwa beliau banyak megutip pendapat dari Muhammad Sa’id Asymawi yang diambil dari buku Asymawi yang berjudul Haqiyatul Hijab wa Hujiyatul Hadis[12] yaitu sekitar 20% dari bukunya. Baik yang disebutkan bahwa itu adalah pendapat Asymawi maupun tidak.Diantara pendapat Asymawi yang tidak disebutkan oleh Quraish Shihab yaitu di dalam bukunya pada halaman 2 ketika beliau menyebut “sebagian pakar” ketika beliau menyatakan bahwa:

Salah satu faktor yang juga diduga sebagai pendorong maraknya pemakaian jilbab adalah faktor ekonomi. Mahalnya salon-salon kecantikan serta tuntutan gerak cepat dan praktis menjadikan sementara perempuan memilih jalan pintas dengan mengenakan jilbab. Demikian pandangan sementara pakar.

Menurut Syaipullah kemungkinan kata “sebagian pakar” tersebut adalah Muhammad Sa’id Asymawi. Karena hal itu nampak di dalam buku Asymawi pada halaman 31.

Di halaman 3 Quraish Shihab menyebutkan bahwa

Ada juga yang menduga pemakaian jilbab adalah simbol pandangan politik yang pada mulanya diwajibkan oleh kelompok-kelompok Islam guna membedakan sementara wanita yang berada pada panji-panji kelompok-kelompok itu dengan wanita-wanita muslimah yang lain atau yang non Muslimah. Lalu kelompok ini berpegang teguh dengannya sebagai simbol mereka. Sebagaimana dilakukan oleh sementara pria yang memakai pakaian yang longgar dan panjang (ala Mesir atau Saudi Arabia) atau ala India dan Pakistan dan menduga bahwa itu adalah pakaian Islami.

Pernyataan tersebut diambil dari buku Muhammad Sa’id Asymawi pada halaman 3.

Selain itu juga pada halaman 158 disebutkan bahwa:

Dalam masyarakat Mesir Kuno, rambut dianggap sebagai sumber kekuatan manusia dan pertanda keperpakasaannya. Para pemuka agama Mesir kuno-baik pria maupun wanita enggan menghadap Dewa yang mereka sembah dalam keadaan menampakkan tanda keperkasaan itu. Karena itu, mereka tampil gundul tanpa sehelai rambut pun”.

Pernyataan tersebut juga diambil di dalam buku Asymawi pada halaman 71-72.

Demikian juga ketika Quraish Shihab mengupas tentang rambut pada agama Yahudi dan Nasrani pada halaman 158, juga diambil dari buku Muhammad Sa’id Asymawi pada halaman 72.

Ketiga, kekeliruan dalam penerjemahan istilah-istilah seperti tangan dan telapak tangan.

Bukti kekeliruan tersebut dapat dilihat di dalam buku beliau tentang jilbab dihalaman 50. pada halaman tersebut beliau menulis bahwa: “Memikirkan bukan menganjurkan untuk menerapkannya-karena betapapun seperti tulis Imam Qurtubi sebagaimana Penulis akan kutip nanti-memakai jilbab dengan hanya membuka wajah dan tangan, adalah pandangan yang lebih baik dalam rangka kehati-hatian”.

Dari pernyataan tersebut, terkesan bahwa Imam al Qurtubi membolehkan seorang wanita untuk menutup wajah dan kedua tangannya (bukan telapak tangan) karena bukan aurat. Tetapi pada lembaran lain yaitu pada halaman 173, beliau menulis “… sehingga mufassir dan pakar hukum al Qurtubi mengatakan bahwa pendapat yang mengecualikan wajah dan telapak tangan dari tubuh perempuan yang harus ditutup, merupakan pendapat yang lebih kuat atas dasar kehati-hatian”.

Dari kedua halaman tersebut nampaknya Quraish Shihab kurang hati-hati dalam mengutip. Di halaman 50 disebutkan tangan sedangkan di halaman 173 ditulis telapak tangan. Tentu hal ini sangat besar akibat hukumnya. Apabila yang pertama diambil berarti Imam al Qurtubi membolehkan wanita untuk membuka wajah dan tangannya dari ujung jari sampai sebelum bahunya karena bukan aurat.

Akan hal itu menurut Aep Saipullah ada baiknya kita merujuk kepada buku aslinya atau Ta’shil Maraji’ yaitu tafsir yang berjudul al Jami’ Li Ahkam al Qur’an . Di dalam tafsirnya tersebut, Imam al Qurtubi tidak mengatakan bahwa yang boleh terbuka adalah muka dan tangan. Akan tetapi beliau mengatakan sebagaimana disebutkan Quraish pada halaman 173, bahwa Imam al Qurtubi membolehkan terbukanya wajah dan telapak tangan. Hal itu dapat dilihat langsung dari Kitab tafsir al Qurtubi yaitu:

فهذا أقوي في جانب الاحتيط : والمراعاة فساد الناس فلاتبدي المرأة من زينتها إلا ماظهر من وجهها وكفيها[13]

Kata كفيها inilah yang diartikan dengan telapak tangan. Seandainya yang dimaksud adalah tangan mesti di dalam tafsir tersebut adalahيد
Hal yang sama juga terjadi ketika Quraish mengutip pendapat dari Ibnul Araby melaui Tafsir Ibnu Asyur yaitu Tafsir at Tahrir wat Tanwir ketika menjelaskan perhiasan yang bersifat Khilqiyah/ melekat yaitu pada halaman 70 yang menyebutkan bahwa

Hiasan Khilqiyah yang dapat ditoleransi adalah hiasan yang bila ditutup mengakibatkan kesulitan bagi wanita seperti wajah, kedua tangan dan kedua kaki, lawannya adalah hiasan yang disembunyikan/ harus ditutup seperti bagian atas kedua betis, kedua pergelangan, kedua bahu, leher dan bagian atas dada dan kedua telinga.

Dari pemaparan tersebut nampaknya bahwa Ibnul Araby membolehkan kedua tangan tidak ditutup karena apabila tertutup akan mengakibatkan kesulitan bagi wanita. Hanya saja, sayangnya, Quraish dalam hal ini menukil pendapat Ibnul Araby melalui tâfsir Ibnu Asyur yaitu Tafsir at Tahrir wat Tanwir, bukan langsung ke Tafsir Ibnul Araby-nya yaitu Ahkamul Qur’an. Menurut Syaipullah kalau kita merujuk kepada buku asal muasal pendapat tersebut yaitu Tafsir Ibnul Araby[14] maka kita akan mendapati kekeliruannya dalam menterjemahkan[15] كَفًّا(Kaffan) yang seharusnya diterjemahkan dengan “kedua telapak tangan” malah diterjemahkan dengan “kedua tangan”, yang tentunya akan berakibat hukum yang sangat jauh dan besar. Agar kita tidak penasaran marilah kita lihat tafsir Ibnul Araby tersebut yaitu sebagai berikut:

واختلف في الزينة الظاهر على ثلاثة أقوال:

الأول: انها ألثياب, يعني أنّها يظهر منها ثيابها خاصة. قاله ابن مسعود

الثاني: الكحل والخاتم, قاله ابن مسعود والمسوار

الثالث : أنه الوجه والكفان[16]

Menurut Saipullah lagi, mana mungkin Ibnul Araby mengatakan bahwa wanita boleh menampakkan wajah dan kedua tangan boleh terbuka sementara dalam kesempatan lain, ia malah mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat yang harus ditutupi termasuk kedua telapak tangan dan wajahnya.[17]

Kesalahan yang sama juga terjadi pada catatan kaki buku Quraish pada halaman 97 yaitu bahwa: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam keadaan berihram perempuan harus membuka wajah dan tangannya”. Dalam hal ini Saipullah memberikan dua catatan untuk Quraish diantaranya; pertama, tidak tepat kalau disebutkan, bahwa jumhur ulama mengharuskan wanita dalam keadaan berihram untuk membuka wajah dan tangannya. Yang tepat adalah wajah dan kedua telapak tangan. Kedua, kata ‘harus’ dalam pernyataan buku tersebut juga kurang tepat. Karena walaupun mayoritas ulama mentidakbolehkan wanita yang sedang ihram untuk menutup kedua telapak tangannya, dan memakai cadar, niqab, namun para ulama tidak melarang untuk menutup wajah dengan jalan isdal.[18]

Selain itu, ada Satu lagi pendapat M. Quraish Shihab yang dikritiknya yaitu bahwa ‘jiwa kritis dan skeptis sangat dibutuhkan terhadap apa yang diungkapkan oleh para ulama yang salah satunya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa satu masalah sudah ijma’. Hal itu menurut Saipullah dapat diatasi dengan mengecek ke buku-buku yang mengumpulkan perkara-perkara yang apakah sudah dianggap ijma’ yaitu pada buku-buku Ushul diantaranya yaitu al Ihkam karya Ibnu Hazm, al Ihkam karya al Amidy, al Mustafa karya Imam al Gazali, dan lain-lain. Hal itu juga dapat dilihat dalam buku Maratibul Ijma’ karya Ibnu Hazm, al Ifshah karya Ibnu Hubairah, al Ijma’ karya Ibnu Mundzir, Mausua’ah al Ijma’ karya Sa’id Abu Jaib dan Imam Ibnu Mundzir an Naisabury dalam karyanya berjudul al Ijma’: Ma Ajma’a ‘Alaihil Fuqaha Minal Ahkam al Fiqhiyyah. Buku inilah yang merupakan rujukan yang harus dijadikan pegangan oleh mereka para pengkaji hukum ketika hendak membuktikan apakah betul sudah terjadi ijma’ dalam masalah tersebut ataupun tidak.

Ada suatu hal yang menjadi heran bagi Aep Saipullah yaitu ketika Quraish Shihab mengambil kesimpulan yang diambil dari Forum Pengkajian Islam Syarif Hidayatullah pada bulan Maret 1988 yang berbunyi: “Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan”[19] dari kesimpulan yang diberikan oleh Quraish Shihab tersebut timbul satu pertanyaan kenapa beliau tidak mengambil atau mengutip pendapat dari hasil keputusan Lajnah Fatwa al Azhar atau Kuwait, Darul Ifta Mesir yang keabsahannya lebih dapat dipertanggunggjawabkan. Meski demikian menurutnya bahwa Quraish Shihab tidak sependapat dengan kesimpulan di atas.

Adapun kalau kita melihat hasil keputusan Lajnah Fatwa al Azhar yang diterbitkan melalui majalah al Azhar, Juz III, edisi ke 67, bulan Rabiul Awwal tahun 1415 H/ Agustus/September 1994 pada halaman 275-279 disebutkan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Hal ini didasarkan pada dalil Alquran, Sunnah, dan Ijma’.[20]

Aep Saipullah dalam hal ini juga menggaris bawahi bahwa perbedaan para ulama yang dikemukakan oleh Quraish Shihab dapat ditarik kesimpulan bahwa:

  1. Para ulama telah sepakat bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangannya, tentu termasuk di dalamnya rambut dan yang lainnya.
  2. Mengenai apakah muka dan telapak tangan adalah aurat atau tidak sehingga apakah wajib untuk di tutup atau tidak, terjadi perbedaan pendapat. Meski demikian mereka, mereka beranggapan bahwa muka dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, menganjurkan (Sunnah saja), atau membolehkan wanita untuk menutup juga muka dan kedua telapak tangannya terlebih apabila dikhawatirkan akan banyak menimbulkan fitnah.
  3. Tidak ada satupun, dari para ulama yang menyerahkan batasan aurat ini kepada keadaan atau kondisi masing-masing, sebagaimana yang tidak ada yang berpendapat selain dari kedua telapak tangan dan wajah. Misalnya rambut, betis, leher, bukan aurat. Semua sepakat semua itu aurat yang wajib ditutup.
  4. Dalam keadaan darurat, darurat disini bukan kebutuhan sebagaimana sering disebut oleh Quraish Shihab dalam buku jilbabnya, seseorang diperbolehkan melihat aurat lainnya dengan tentu menurut batasan-batasan tertentu ditambah setelah memenuhi persyaratan yang telah dibahas oleh para ulama dalam buku-buku fiqh.

Ada beberapa buku tambahan sebagai bahan perbandingan dalam membaca buku M. Quraish Shihab menurut Aep Saipullah yaitu:

a. Muhammad Nashruddin al Albany, Hijabul Mar’ah al Muslimah Fil Kitab was Sunnah, al Maktab al Islamy, Beirut, Cet. Ke-8, 1987.

b. Muhammad Nashruddin al Albany, Jilbabul Mar’ah al Muslimah fil Kitab Was Sunnah, Maktab al Ma’arif, Riyadh, 2002. (isi buku sama dengan buku Hijabul Mar’ah al Muslimah Fil Kitab was Sunnah).

c. Musthafa as Shiba’I, al Mar’ah Bainal Fiqh wal Qanun, Dar as Salam, Kairo, 2006.

d. Muhammad Baltagi, Makanatul Mar’ah fil Qur’an al Karim was Sunnah ash Shahihah, Dar as Salam, Cet. III, 2005.

e. Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, al Albisah wa az Zinah, Dar as Salam, Kairo, 2006.

f. Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah fi Ashrir Risalah, Dar al Kalam, Kuwait, Cet. VI, 2002.

g. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah, Hijabul Mar’ah wa Libasuha fi as Shalah, al Maktab al Islamy, Beirut, Cet. VI, 1985.

h. Abu Abdullah Musthafa bin al adway, al Hijab: Ahkamun Nisa fi Sual wa Jawab, Dar Ibn Affan, Kairo, 2002.

i. Muhammad Ahmad Ismail al Muaqaddam, Adullatul Hijab: Bahtsun Jami’un li Fadhailil Hijab wa Adillah Wujubihi war Radd ‘Ala Man Abahas Sufur, Dar al Iman, Iskandariah, 2002.

j. Muhammad al Gazhali, Qadhayal Mar’ah Bainat Taqalid ar Rakidah wal Wafidah, Dar as Syuruq, Kairo, Cet. VIII, 2005.

k. Sua’ad Ibrahim Shalih, Qadhayal Mar’ah al Mua’shirah: Ru’yah Syar’iyyah wa Nadhrah Waqi’ah, Maktabah at Turats al Islamy, Kairo, 2003.

Menanggapi berbagai kritikan cendikiawan muslim tersebut Quraish Shihab berusaha bersikap tenang dengan menyatakan bahwa apa yang dikemukakannya berkenaan dengan ketidakharusannya berkenaan dengan jilbab adalah karena beliau hanya mengemukakan berbagai macam pendapat pakar tentang jilbab tanpa menentukan suatu pilihan atau belum bisa mentarjih berbagai macam pendapat. Hal tersebut karena apabila menghidangkan satu pendapat saja disamping dapat mempersempit dan membatasi seseorang, juga berbeda dengan kenyataan bahwa hampir dalam semua persoalan rinci keagamaan Islam ditemukan keragaman pendapat dan juga hal itu sejalan dengan redaksi Alquran dan hadis yang sungguh menampung aneka pendapat.

Begitu juga berkenaan nasehat beberapa teman Quraish Shihab agar jangan diterbitkan buku jilbab tersebut karena khawatir jangan sampai timbul kesalahpahaman dan tuduhan serta caci maki dari sementara kalangan sebagaimana pernah dialami Nâshruddin al Albâni yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Dari nasehat yang ditujukan kepada Quraish Shihab tersebut beliau mengucapkan terimakasih dan atas nasehatnya dan beberapa kritiknya, sambil memohon ma’af tidak bisa mengabulkan permintaan mereka dengan alasan-alasan yang dikemukakannya tersebut.[21]

B. Analisis Terhadap Penafsiran M. Quraish Shihab dan Kritik Cendikiawan Muslim Terhadap Penafsirannya.

Menurut M. Quraish Shihab ayat-ayat tentang batasan aurat dan jilbab yaitu di dalam QS. Al Ahzab [33]: 59, QS. Al Ahzab [33]: 53 dan QS. An Nûr [24]: 30-31 tidak memiliki ketegasan hukum atau dalil tersebut tidak qath’i karena apabila sesuatu masih bersifat bersifat Zhan maka dalil tersebut tidak dapat dijadikan ketetapan hukum. Hal tersebut dapat dilihat menurutnya banyaknya perbedaan ulama baik dalam pengertian jilbab itu sendiri maupun dari batasan-batasan mana yang boleh ditampakkan kepada yang bukan mahram. Dalam hal ini mereka masih berbeda pendapat tentang pemahaman ayat berikut ini :

Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB

Walaupun mereka berbeda pendapat tentang bagian mana yang harus nampak, tetapi perbedaan mereka tidak jauh berkisar antara apakah wajah dan telapak tangan saja yang boleh dilihat atau seluruh tubuh wanita adalah aurat. Bukan sampai apakah rambut juga bagian yang nampak. Memang kita sadari bahwa ada juga ulama yang menganggap rambut bukan aurat yaitu Muhammad Sa’id Asymawi. Akan tetapi ulama tersebut tidak memiliki otoritas dalam bidang hukum fiqh sehingga tidak dapat kita jadikan pegangan.

Dari beberapa Penafsiran M. Quraish Shihab tersebut yang dianggap ganjil oleh beberapa kalangan, akhirnya penafsiran beliau tersebut dikritik para cendikiawan muslim yang penulis kemukakan di atas tadi. Adapun kritik mereka antara lain:

Pertama, Mereka sepakat bahwa ayat-ayat tentang jilbab yaitu QS. An Nûr [24]: 31 dan QS. Al Ahzab [33] tersebut sudah merupakan dalil kuat yang menunjukkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh wanita, kecuali yang biasa nampak yaitu muka dan telapak tangan. Perbedaan mereka hanya terletak pada apakah boleh wajah dan telapak tangan boleh dibuka. Bukan sampai bolehnya membuka rambut.

Kedua, apabila konsep aurat wanita dalam Islam bersifat “Kondisional”, “Lokal” dan “Temporal”. Maka, dampaknya akan membuka pintu bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-hukum Islam lainnya sesuai asas lokalitas, seperti yang sekarang banyak dilakukan sejumlah orang dalam menghalalkan perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non Muslim dengan alasan QS. Al Mumthahanah [60]: 10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab didominasi oleh laki-laki. Sedangkan sekarang karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam rumah tangga-sesuai dengan konteks gender equlity maka hukum itu sudah tidak relevan lagi.

Ketiga, Mereka juga menyayangkan sikap M. Quraish Shihab tidak merajihkan beberapa pendapat yang diutarakannya dan beliau hanya memberikan berbagai macam pendapat yang terserah orang, mana yang hendak dipakai.

Keempat, Mereka mengkritik Quraish Shihab bahwa di dalam beberapa penafsirannya tersebut beliau banyak mengutip pendapat yang ulama yang tidak memiliki otoritas dalam bidang fiqih seperti Muhammad Said Asymawi, Muhammad Syahrur, dan Nawal as Sa’dawi. Dan di dalam tersebut pak Quraish secara tidak langsung sependapat dengan pada cendikiawan kontemporer tersebut.

Kelima, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang jilbab ini beliau tidak melakukan Ta’shil Maraji’ merujuk kepada buku aslinya langsung sehingga banyak didapati kesalahan dalam pengutipan contohnya kata “Kaffan” diartikan dengan tangan seharusnya telapak tangan.

Keenam, mereka sepakat bahwa ayat tentang jilbab itu sudah merupakan kewajiban karena Asbab an Nuzul ayat tersebut sudah menunjukkan adanya sebab akibat adanya perintah tersebut.

Dalam hal ini penulis sependapat atas kritikan-kritikan cendikiawan muslim yang dilontarkan kepada M. Quraish Shihab tersebut karena dari penafsiran Quraish tersebut dapat dinetralkan mana pendapat yang lebih rajih dari beberapa ulama yang diakui otoritasnya. Memang dalam buku beliau tentang jilbab tidak secara kongkrit menyatakan bahwa rambut bukan aurat. Akan tetapi di dalam bukunya tersebut ada beberapa indikasi yang mengarah kepada hal tersebut, seperti pertama, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam pada Pemikiran dan Peradaban bahwa: “Menyangkut jilbab misalnya, Quraish Shihab menyatakan ketidakharusannya”. Kedua, pada buku jilbab yaitu

……bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan sebagian tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama. “Bukankah Alquran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[22]

Ketiga, pada hadis Nabi saw., yaitu:

لاتقبل الصلاة الحائض إلا بخمار

Berkenaan dengan hadis tersebut M. Quraish Shihab menyatakan bahwa

Betapapun, hadis di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk mewajibkan pemakaian kerudung bagi wanita di luar shalat. Menutup seluruh kepala baru menjadi wajib, jika kita menilai shahih hadis dari ‘Âisyah ra., yang mengecualikan hanya wajah dan telapak tangan wanita yang ditoleransi yang boleh terbuka.[23]

Sebenarnya M. Quraish Shihab dalam hal ini bersifat lunak dan bersifat netral terhadap beberapa pendapat yang diutarakan oleh beberapa ulama baik ulama masa lalu maupun masa kini buktinya Quraish Shihab tidak mau menyalahkan pendapat yang mengatakan bahwa rambut aurat atau perempuan yang tidak memakai kerudung sudah keluar dari ajaran agama begitu juga bagi perempuan yang sudah memakai kerudung, agar mereka tidak serta merta menanggalkan kerudungnya. Namun sekali lagi kita katakan bahwa walaupun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim akan tetapi diantara kita menginginkan hukum yang praktis atau tegas. Karena masih banyak diantara kita yang ajaran agamanya yang masih kurang, yang akibatnya terjadi kebingungan dalam menjalankan ajaran agama. Beda dengan orang yang sudah mempunyai ilmu agama yang cukup dan mempunyai basic keagamaan yang memadai tentunya hal itu bisa dapat dipilah-pilah mana pendapat yang sesuai dengan ajaran agama atau pendapat yang lebih kuat.

Pada persoalan apakah rambut bukan aurat Ibnu Qayyim pernah ditanya tentang hal itu beliau mengatakan bahwa diantara fitnah yang besar dan perang pikiran yang dimasukkan ke Dunia Umat Islam adalah mengubah masalah-masalah yang meyakinkan dalam Islam menjadi masalah-masalah yang diperdebatkan. Seperti apakah rambut termasuk aurat. Para ulama sudah sepakat dalam hal ini bahwa aurat bagi wanita adalah wajah dan telapak tangan. Mereka yang berpendapat bahwa rambut bukan aurat adalah memaknai kata khumur dengan penutup segala sesuatu. Bukan menutup rambut. Padahal asbab an Nuzul ayat tersebut sudah jelas bahwa khumur disana adalah penutup kepala.[24]

Menurut penulis walaupun ayat-ayat yang berkenaan dengan jilbab tersebut masih diperselisihkan hukumnya, akan tetapi perintah berjilbab merupakan bukti kasih sayang Allah swt., kepada wanita agar mereka terlindungi dari para lelaki yang ingin melakukan perbuatan usil kepadanya. Karena di dalam diri wanita tersimpan suatu keindahan yang menarik untuk laki-laki.

Walaupun kelihatannya penafsiran M. Quraish Shihab tersebut berseberangan dengan ulama-ulama terdahulu, namun beliau juga menyepakati bahwa ada beberapa aturan bagi wanita dalam hal berpakaian yaitu: jangan ber-tabarruj, jangan mengundang perhatian pria, jangan memakai pakaian transparan, danjangan memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki.

Hal yang sama juga dalam berpakaian di ungkapkan oleh Abu al Ghifari ketika mengutip pendapat Syekh Nasrudin Al Albani dalam bukunya “Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah fil Kitabi was Sunnati” ada delapan syarat yang harus dipenuhi dalam berjilbab yaitu:

  1. Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan yaitu pada QS. An Nûr [24]: 31. yang dikecualikan tersebut adalah wajah dan telapak tangan. Dan juga QS. Al Ahzab [33]:59.
  2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan. Sebagaimana firman Allah QS. An Nur: 31. fungsi jilbab disini adalah pelindung wanita bagi godaan laki-laki. Dan juga tidak boleh berlebihan dalam mengikuti trend mode tertentu.

Berkenaan dengan trend berpakaian ini banyak perempuan yang kurang benar dalam hal berpakaian dan mereka tidak sadar bahwa itu adalah pakaian orang zaman jahiliah dahulu. Khususnya dalam halnya berjilbab sebagaimana pernyataan Muhammad bin Muhammad ‘Âli bahwa “Wanita di Tanah ‘Arab pada zaman jahiliah dahulu mendedahkan ‘aurat mereka lebih jurang seperti wanita modern. Ada diantara mereka yang menutup kepala dan belakang leher, tetapi membukakan muka, depan leher dan dada.[25]

  1. Kainnya harus tebal, tidak tipis. Sebagaimana hadis Nabi yaitu:

Bahwa Asma binti Abi Bakar masuk kerumah Rasul dengan mengenakan pakain tipis, maka Rasullulah bersabda: “Wahai Asma, Sesungguhnya wanita yang telah Haid (baligh) tidak diperkenankan untuk dilihat dari padanya kecuali ini dan ini, dengan mengisyaratkan wajah dan telapak tangan”. (HR. Abu Daud).

5. Harus Longgar, tidak ketat, sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya.

Sebagaimana yang pernah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim bahwa Fatimah Putri Rasullulah pernah berkata kepada Asma: “Wahai Asma! Sesungguhnya Aku Memandang buruk apa yang dilakukan oleh kaum wanita yang mengenakan baju yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya”

6. Tidak diberi wewangian atau parfum.

Sebagaimana hadis Nabi yaitu:

“Siapapun perempuan yang memakai wewangian. Lalu ia melewati kaum laki-laki agar ia menghirup wanginya, maka ia sudah berzina” (HR. Muslim).

7. Tidak Menyerupai laki-laki.

Sebagaimana hadis Nabi yaitu:

“Rasullulah melaknat pria yang menyerupai pakain wanita yang menyerupai pakaian wanita dan wanita yang menyerupai pakain laki-laki. (HR. Abu Daud).

8. Tidak menyerupai pakain pakain wanita Kafir.

Sebagaimana hadis Nabi yaitu:

“Janganlah kalian memakai pakaian para Pendeta, karena barang siapa memakai pakaian mereka atau menyerupai diri dengan mereka, bukan dari golonganku.”. (HR. at Tabrani)

9. Bukan Libas Syuhrah (Pakaian Popularitas)

Sebagaimana hadis Nabi yaitu:

“Barangsiapa memakai pakaian Syuhrah (untuk mencari popularitas) di Dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan pada hari kiamat,kemudian membakarnya dengan api Neraka”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)[26]



[1] Adian Husaini, “Jilbab: M Quraish Shihab”, Suara Hidayatullah, XXIV, 7 (November, 2006), h. 92-93. dan juga pada Pakaian dan Perhiasan, www.hidayatullah.com, 23 sepetember 2006. Berkenaan dengan biografi Eli Maliki ini penulis tidak banyak mendapatkan keterangan tentang beliau, sehingga penulis hanya memuat biografi beliau seadanya saja.

[3] Pernyataan Quraish Shihab berkenaan tentang jilbab bahwa jilbab bukan kewajiban atau bisa juga dalam hal ini dalam hal ini ketidakharusan bisa juga dapat dilihat dari Ensklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002) h. 56.

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, op.cit, Vol. 15, h.333.

[5] Adian Husaini, op.cit., h. 93.

[6] Bahrul Ulum, “Dr. Muhlis Hanafi Bintang Muda Tafsir Al-Qur’an”, Suara Hidayatullah, XX, 1 (Mei, 2007), h. 53.

[7] Adian Husaini, “Mengkritik Quraish Shihab", http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3160&Itemid=55, 21 Mei 2006.

[8] Adian Husaini, http://www.immasjid.com/?=lihat&id=391, di akses pada tanggal 11 April 2008.

[9] Adian Husaini, op.cit., h.33.

[10] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiwan Kontemporer, op. cit., h. 4.

[11]Aep Saipullah Darusmanwiati, http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3732&Itemid=60 ,di akses pada 18 Oktober 2006.

[12] Buku Muhammad al Asymawi tersebut sekarang telah diterjemahkan oleh Nong Darol Mahmada. Dengan judul Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh JIL pada bulan April 2003. di dalam buku tersebutlah Asymawi mengkritik secara tajam tentang jilbab. Menurut penulis buku tersebut bisa terbit dan bisa dipasarkan kepada masyarakat karena penerbitnya adalah dari JIL yang berpikiran liberal yang pendapatnya selalu berseberangan dengan ulama-ulama kita. Seandainya saja buku tersebut diterbitkan oleh penerbit yang Islami tentunya buku tersebut tidak diterbitkan karena buku tersebut sepertinya melegalkan perempuan yang tidak memakai jilbab.

[13] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al Anshari al Qurtubi, al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1995M/ 1415H), Jilid 6, h. 212.

[14] Alasan Kenapa Aep syaipullah langsung merujuk kepada tafsir Ibnul Araby karena beliau tidak mendapatkan buku tafsir Ibnu Asyur yaitu Tafsir at Tahrir wat Tanwir.

[15] Di dalam kamus al Munawwir juga disebutkan bahwa kata كَفًّ berarti: “telapak tangan”.

[16] Abi Bakr Muhammad bin Abdillah al Ma’ruf bin Ibnu Arabi, Ahkamul Qur’an, (Darul Fikr: Beirut, t.th), Jilid 3, h. 381.

[17] Aep Syaipullah, loc. cit,.

[18] Isdal adalah memanjangkan kain dari kerudung atau dari kain penutup kepala untuk ditutupkan ke wajah.

[19] Lihat di dalam buku M. Quraish Shihab tentang jilbab pada halaman 166.

[20] Aep Syaipullah Darusmanwiati, loc.cit,.

[21], M. Quraish Shihab, Jilbab Wanita Pakaian Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiwan Kontemporer, op. cit., h. 4-6.

[22] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian Al Qur’an, op. cit., h. 333.

[23] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiwan Kontemporer, op. cit., h. 170.

[24] Yusuf al Qardhawi, Hady Al Islam; Fatawa Mua’ashirah, di terjemahkan oleh H. M.H. al Hamidy al Husaini dengan judul Fatwa-fatwa Mutakhir Yusuf al Qardhawi, (Jakarta: Yayasan al Hamidy, 1995), Jilid I, cet. 2, h. 569.

[25] Muhammad bin Muhammad ‘Âli, Hijab, (Kuala Lumpur: Watan, 1980), cet.IV, h. 28

[26] Abu Al Ghifari, Kudung Gaul: Berjilbab tapi Telanjang, (Bandung: Mujahid Pers, 2003), h. 51-65.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Menurut M. Quraish Shihab ayat-ayat tentang batasan aurat dan jilbab yaitu di dalam QS. Al Ahzab [33]: 59, QS. Al Ahzab [33]: 53 dan QS. An Nûr [24]: 30-31 tidak memiliki ketegasan hukum atau dalil tersebut tidak qath’i karena apabila sesuatu masih bersifat bersifat Zhan maka dalil tersebut tidak dapat dijadikan ketetapan hukum. Hal tersebut dapat dilihat menurutnya banyaknya perbedaan ulama dahulu maupun masa kini baik dalam pengertian Jilbab itu sendiri maupun dari batasan-batasan mana yang boleh dinampakkan kepada yang bukan mahram.

Adapun kritik yang dilontarkan Cendikiawan Muslim kepada M. Quraish Shihab yaitu: bahwa Pertama, Mereka sepakat bahwa ayat-ayat tentang jilbab yaitu QS. An Nûr [24]: 31 dan QS. Al Ahzab [33] tersebut sudah merupakan dalil kuat yang menunjukkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh wanita, kecuali yang biasa tampak yaitu muka dan telapak tangan. Kedua, apabila konsep aurat wanita dalam Islam bersifat “Kondisional”, “Lokal” dan “Temporal”. maka, dampaknya akan membuka pintu bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-hukum Islam lainnya sesuai asas lokalitas. Ketiga, Mereka juga menyayangkan sikap M. Quraish Shihab tidak merajihkan beberapa para ulama tersebut. Keempat, Mereka mengkritik pak Quraish bahwa di dalam beberapa penafsirannya tersebut Quraish Shihab banyak mengutip pendapat yang ulama yang tidak memiliki otoritas dalam bidang fiqih seperti Muhammad Said Asymawi, Muhammad Syahrur, dan Nawal as Sa’dawi. tersebut. Kelima, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang jilbab ini beliau tidak melakukan Ta’shil Maraji’ merujuk kepada buku aslinya langsung. Keenam, mereka sepakat bahwa ayat tentang jilbab itu sudah merupakan kewajiban karena Asbab an Nuzul ayat tersebut sudah menunjukkan adanya sebab akibat adanya perintah tersebut.

Walaupun beliau mempersilahkan pendapat mana yang mau dipilih tetapi beliau dalam hal ini memberikan batasan-batasan dalam hal berpakaian yaitu: jangan ber tabarruj, jangan mengundang perhatian pria, jangan memakai pakaian transparan, dan jangan memakai pakaian yang menyerupai laki-laki.

Dari beberapa kritikan yang dilontarkan kepada M. Quraish Shihab tersebut bahwa memperpegangi pendapat yang lebih kuat sangat diperlukan dalam menetapkan suatu hukum terutama tentang batasan aurat bagi wanita yang meliputi apakah tubuh wanita itu semuanya aurat atau apakah seluruh tubuh wanita aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Namun dalam hal ini para ulama sepakat bahwa wajah dan telapak tangan bukan aurat.

B. Saran-saran

Terkait dengan pembahasan di atas maka kepada para penafsir Alquran disarankan untuk memberikan kepastian hukum khususnya berkenaan dengan hukum batasan aurat. Adapun kalau tidak bisa memberikan kepastian hukum maka jalan terbaik adalah sikap tawaqquf . Akan tetapi hal itu sekarang sudah bisa diatasi karena banyak ulama yang menghimpun beberapa kesepakatan ulama atau ijma’ berkenaan tentang suatu hukum.

Kepada kaum Muslimah hendaknya mereka tetap menutup aurat meskipun ada sebagian dari ulama kita yang mengatakan bahwa adanya kelonggaran hukum dalam batasan aurat dan pegangilah pendapat yang lebih kuat atau merujuk kepada ulama yang diakui otoritasnya, agar kita tidak menjadi bingung dalam menetapkan batasan aurat.


1 komentar:

siput mengatakan...

JILBAB MENURUT BUYA HAMKA

Menurut Buya HAMKA (Pendiri/Ketua MUI ke-1, Tokoh Ulama Besar Muhammadiyah), yang ditentukan oleh agama adalah Pakaian yang Sopan dan menghindari 'Tabarruj'

Berikut adalah kutipan Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA (selengkapnya dapat dibaca pada Tafsir Al-Azhar, khususnya beberapa Ayat terkait, yakni Al-Ahzab: 59 dan An-Nuur: 31):

'Nabi kita Muhammad saw. Telah mengatakan kepada Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq demikian,

"Hai Asma! Sesungguhnya Perempuan kalau sudah sampai masanya berhaidh, tidaklah dipandang dari dirinya kecuali ini. (Lalu beliau isyaratkan mukanya dan kedua telapak tangannya)!"

Bagaimana yang lain? Tutuplah baik-baik dan hiduplah terhormat.

Kesopanan Iman

Sekarang timbullah pertanyaan, Tidakkah Al-Qur'an memberi petunjuk bagaimana hendaknya gunting pakaian? Apakah pakaian yang dipakai di waktu sekarang oleh perempuan Mekah itu telah menuruti petunjuk Al-Qur'an, yaitu yang hanya matanya saja kelihatan?

Al-Qur'an tidaklah masuk sampai kepada soal detail itu, Al-Qur'an bukan buku mode!

Al-Qur'an tidak menutup rasa keindahan (estetika) manusia dan rasa seninya.

Islam adalah anutan manusia di Barat dan di Timur. Di Pakistan atau di Skandinavia. Bentuk dan gunting pakaian terserahlah kepada umat manusia menurut ruang dan waktunya.

Bentuk pakaian sudah termasuk dalam ruang kebudayaan, dan kebudayaan ditentukan oleh ruang dan waktu ditambahi dengan kecerdasan.

Sehingga kalau misalnya perempuan Indonesia, karena harus gelombang zaman, berangsur atau bercepat menukar kebaya dengan kain batiknya dengan yurk dan gaun secara Barat, sebagaimana yang telah merata sekarang ini, Islam tidaklah hendak mencampurinya.'

MENGENAL (KEMBALI) BUYA HAMKA

Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA

mui.or.id/mui/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

Mantan Menteri Agama H. A. Mukti Ali mengatakan, "Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri."

kemenag.go.id/file/dokumen/HAMKA.pdf

Biografi Pujangga & Ulama Besar: HAMKA

muhammadiyah.or.id/id/artikel-biografi-pujangga-ulama-besar-hamka--detail-21.html

"Buya HAMKA adalah tokoh dan sosok yang sangat populer di Malaysia. Buku-buku beliau dicetak ulang di Malaysia. Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA merupakan bacaan wajib."

disdik-agam.org/berita/34-berita/1545-seminar-internasional-prinsip-buya-hamka-cermin-kekayaan-minangkabau

"orang puritan sebagai mayoritas di Muhammadiyah, Jilbab bukan sesuatu yang wajib ..."

KOMPAS, Senin 30 November 2009, Oleh: AHMAD NAJIB BURHANI, Peneliti LIPI academia.edu/7216467/100_Tahun_Muhammadiyah

"... menjadi pilihan pribadi masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama: memakai, atau tidak memakai jilbab."

nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,48516-lang,id-c,kolom-t,Polwan+Cantik+dengan+Berjilbab-.phpx

"Antara Syari'ah dan Fiqh

(a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)

Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak adalah pertanyaan yang keliru.

Karena yang wajib adalah menutup aurat (apakah mau ditutup dengan jilbab atau dengan kertas koran atau dengan kain biasa).

Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya."

*Nadirsyah Hosen, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Fiqh.html

Terdapat tiga MUSIBAH BESAR yang melanda umat islam saat ini:

1. Menganggap wajib perkara-perkara sunnah.
2. Menganggap pasti (Qhat'i) perkara-perkara yang masih menjadi perkiraan (Zhann).
3. Mengklaim konsensus (Ijma) dalam hal yang dipertentangkan (Khilafiyah).

-Syeikh Amru Wardani. Majlis Kitab al-Asybah wa al-Nadzair. Hari Senin, 16 September 2013.

suaraalazhar.com/2015/05/tiga-permasalahan-utama-umat-saat-ini.html