Minggu, 11 Mei 2008

Proposal atas Jilbab

KRITIK CENDIKIAWAN MUSLIM ATAS PENAFSIRAN

M. QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB

A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal dikenal manusia, pakain lebih berfungsi sebagai penutup tubuh daripada sebagai pernyataan lambang status seseorang dalam masyarakat. Sebab berpakain ternyata memang merupakan perwujudan dari sifat dasar manusia yang mempunyai sifat rasa malu sehingga selalu berusaha menutupi tubuhnya. Oleh karena itu betapun sederhananya kebudayaan suatu bangsa, usaha untuk menutupi tubuh dengan pakain itu selalu ada, kendati pun dalam bentuk seadanya seperti halnya orang Irian Jaya pedalaman yang hanya memakai holim (koteka) bagi laki-laki dan sali yokal bagi perempuan, yaitu suatu busana hanya menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuhnya[1]. Kemudian ketika arus zaman telah berkembang pakaian tidak lagi sebatas penutup aurat saja tetapi sebagai mode atau gaya hidup.





Ketika pakain bukan hanya dijadikan sebagai penutup aurat tetapi juga sebagai mode atau perhiasan ini memang tidak salah. Sebab Allah swt. Sendiri menyuruh kita untuk membaguskan pakain yang kita pakai yaitu sebagaimana firman Allah Q.S. al A’raf [7]: 31:

*

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (Q.S. al A’raf [7]: 31)

Tetapi walaupun hal itu dianjurkan mereka tetap memakai aturan-aturan berpakaian yang diatur oleh Alquran dan hadits yaitu harus menutup seluruh badan selain yang dikecualikan, kainnya harus tebal dan tidak tipis, tidak diberi wewangian yang terlalu berlebihan, tidak menyerupai laki-laki, dan tidak menyerupai wanita kafir[2]. Semua aturan tersebut tidak lain adalah untuk

[1] Nina Surtiretna, et. al., Anggun Berjilbab, cet. II, (Bandung: Al Bayan, 1996), h.13

[2] Al Ghifari, Kudung Gaul: Berjilbab Tapi Telanjang, cet. 13, (Bandung: Mujahid Pers, 2003), 62 63.

meninggikan derajat wanita dan agar mereka dianggap terhormat karena kita tahu bahwa sebelum kedatangan agama Islam para wanita zaman dahulu hanya memakai pakaian penutup kepala atau khimar yang tidak sampai kedada yang akibatnya auratnya terbuka pada bagian dada, sehingga menimbulkan rangsangan terhadap para lelaki hidung belang yang bermaksud jahat terhadap dirinya dan juga akibatnya tidak diketahui mana yang budak yang sudah merdeka dan belum merdeka[1]. Adapun perintah Allah swt berkenaan dengan perintah agar para wanita menutup auratnya yaitu:



[1] M. Quraish Sihab, Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, cet. II, Vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2002). h. 319.

Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S: an Nur (24): 31).

Perintah ini ditujukan kepada semua perempuan yang beriman tanpa membedakan apakah ia berasal dari negara Arab, Indonesia, Amerika, Inggris, ataupun negara lain. Mereka tetap harus melaksanakan perintah ini dalam hal menjaga pandangan, menjaga kemaluan, menampakkan perhiasaaan yang biasa tampak yaitu muka dan tangan dan bagaimana tata cara berjilbab atau berkerudung.

Dari ayat yang telah disebutkan di atas yaitu Q.S. an Nur [24]: 31 berkenaan batasan aurat yang lebih khusus pada potongan ayat, yang isinya

Artinya: Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya

Para ulama ketika menafsirkan “bagian yang tampak” pada ayat tersebut banyak terjadi perbedaan pendapat. Hal itu dikemukakan oleh asy Saukani di dalam Nailul Authar yang dikutip oleh Ibnu Qayyim al Jauziah di dalam Fatwa-fatwa kontemporer Yusuf al qaradhawi yaitu:

1. Aurat Wanita adalah seluruh badan wanita kecuali muka dan telapak tangan. Menurut pendapat al Hady dan al Qasim dan juga Imam Abu Hanifah.

2. Aurat wanita seluruh badan kecuali muka, dua telapak tangan, dua telapak kaki dan letak gelang kaki (di atas tumit dan di bawah mata kaki). Menurut pendapat al Qasim, Imam Abu Hanifah, Sufyan ats Sauri dan Abu Abbas aurat Wanita adalah seluruh badan, kecuali muka. Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Daud.[1]

Dari perbedaan para ulama tersebut sesungguhnya tidak mengarah kepada perbedaan yang mencolok seperti bolehnya memperlihatkan rambut, dada, perut maupun paha. Perbedaan mereka hanya terletak pada muka, dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan.

Namun, dalam ayat ini pakar tafsir kontemporer yang juga lulusan Mesir yaitu M. Quraish Shihab dan sekarang menjabat anggota dewan penthashih Alquran memberikan kesimpulan dan penafsiran yang berbeda dari kebanyakan para ulama yaitu bahwa kepala bukan aurat karena menurutnya bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy bukan qathi’ [2]. karena ayat Alquran tidak memberikan rincian secara jelas dan tegas tentang batas batas aurat, seperti apa yang disebutkan dalam Q.S an Nur [24]: 31 tadi. Seandainya menurut beliau di dalam Alquran ada ketentuan pasti tentang batas aurat tentunya para ulama baik masa kini maupun ulama terdahulu tidak terjadi perbedaan atau khilafiyah dalam menginterpretasi ayat tersebut. Begitu juga dengan hadits nabi yang walupun para ulama menemukan hadits Nabi tetapi masih juga ditemukan perbedaan dalam hal penilain kualitas suatu hadits[3]. Adapun hukum berjilbab dalam Alquran yang berupa perintah adalah bukan kewajiban tetapi anjuran karena kata perintah itu tidak semua berarti wajib sebagai contoh adalah ayat tentang hutang piutang (Q.S. al Baqarah [2]: 282[4]

Kesimpulan yang dikemukakan oleh M. Quraish shihab tersebut sebenarnya bisa menimbulkan keraguan oleh kaum mukminat dalam mengamalkan ayat tersebut, yang kalau dibaca sepintas dan tidak merujuk lagi pendapat-pendapat ulama-ulama terdahulu yang lebih kuat. Parahnya lagi apabila yang membaca atau mendengar pendapat beliau berasal dari orang awam yang mempunyai latar belakang pendidikan yang rendah akan dapat menimbukan keraguan atau kebingungan yang sangat berlebihan yang pada akhirnya auratnya tidak ditutupnya lagi. Akibat pendapat beliau yang mengatakan bahwa dalil tentang batas aurat bersifat zhan dan masih terdapat khilafiyah antara para ulama. Apalagi kalau kita membaca buku M. Quraish Shihab yang berjudul Jilbab Pakain Muslimah: Pandangan Ulama Masa lalu dan Cendikiawan Kontemporer dan beberapa tulisan beliau yang lain yang membahas tentang jilbab yang disitu secara panjang lebar dikemukakan pandangan Quraish Shihab berkenaan dengan batas aurat dan Jilbab.

Munculnya beberapa buku M. Quraish Shihab tersebut yang membahas tentang Jilbab menurut sebagian kalangan, sesungguhnya tidak terlalu tepat di tengah gencarnya aksi demo yang dilakukan oleh para mahasiswa yang memperjuangkan para saudaranya yang muslimah yang dilarang memakai jilbab diwaktu bekerja baik di Instansi pemerintahan maupun swasta karena bisa menimbulkan kesan melegalkan para wanita yang tidak memakai Jilbab.[5]

Dalam mengemukakan pendapatnya tersebut anehnya beliau banyak mengutip pendapat dari Muhammad Asymawi yang dikenal sebagai pemikir Liberal Mesir. Padahal menurut Mukhlis Hanafi dan Adian Husaini dia tidak memiliki otoritas dalam bidang fiqh.[6]

Pendapat Quraish Shihab tersebut yang dianggap berbeda dengan beberapa ulama tersebut akhirnya banyak menuai kritikan dari beberapa cendikiawan muslim contohnya ketika diadakan bedah buku beliau yang berjudul Jilbab Pakain Muslimah: Pandangan Ulama Masa lalu dan Cendikiawan Kontemporer yang bertempat di pusat studi Alquran Ciputat, yang pada saat diskusi banyak terdapat kritikan yang di lontarkan oleh para cendikiawan muslim kita seperti, Dr. Mukhlis Hanafi, Dr. Eli al Maliki, dan Adian Husaini yang semuanya menolak pendapat beliau, ketika beliau menafsirkan Q.S. an Nur [24]: 31 dan Q.S al Ahzab [33]: 59. Akan tetapi ditengah banyaknya kritikan yang diberikan kepada Bapak Quraish tersebut beliau masih tetap dengan pendapatnya yaitu bahwa Jilbab adalah masalah khilafiyah.

Dari beberapa latar belakang masalah atau fenomena yang telah penulis kemukakan tadi, maka penulis termotivasi untuk melakukan penelitian yang mendalam mengenai penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab dalam Alquran yang dinilai berbeda dengan pemikiran para fuqaha dan ahli tafsir dan juga bagaimana kritik para cendikiawan Muslim terhadap penafsirannya yang akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul “KRITIK CENDIKIAWAN MUSLIM ATAS PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB”..

A. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penafsiran M. Quraish Shihab tentang jilbab dan bagaimana kritik cendikiawan muslim atas penafsiran M. Quraish Shihab tentang jilbab yang dinilai berbeda penafsirannya dari berbagai kalangan?

B. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya pemahaman yang tidak dikehendaki maka, ada beberapa istilah yang perlu ditegaskan yaitu:

Jilbab adalah baju kurung yang longgar, di lengkapi dengan kerudung yang menutupi kepala, sebagian muka dan dada.[7]

Kritik adalah Kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya pendapat, dan sebagainya[8].

Para cendikiawan Muslim disini adalah cendikiawan yang terlibat langsung dalam diskusi membedah buku M. Quraish Shihab yaitu Adian Husaini yang merupakan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Dr. Eli al Maliki yang merupakan doktor bidang fikih, dan Mukhlis Hanafi yang merupakan doktor bidang tafsir.

Jadi, yang dimaksud dengan Kritik Cendikiawan muslim atas penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab adalah mengkaji penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab dan kritikan-kritikan yang di lontarkan oleh cendikiawan muslim kepada beliau.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang di kemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab yang di anggap kontroversi dan penafsirannya sedikit berbeda oleh beberapa kalangan baik Mufassir maupun para Fuqaha dan juga untuk mengetahui bagaimana kritik para cendikiawan muslim terhadap hasil penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab.

E. Signifikasi Penelitian

Hasil Penelitian ini di harapkan berguna :

a. Menambah khazanah keilmuan bagi pengembangan pemikiran terhadap tafsir lquran, khususnya mengengenai penafsiran seorang tokoh.

b. Membuka cakrawala berpikir kita bahwa ayat Alquran dalam hal menafsirkannya banyak terdapat perbedaan baik secara metode, corak maupun hasil penafsirannya.

c. Sebagai bahan referensi bagi mereka yang ingin mengetahui pemikiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab.

d. Bagi masyarakat yang lebih khususnya kepada Wanita agar tetap selalu menutup aurat walaupun dalam hal penafsiran terdapat banyak perbedaan dan juga kalaupun terjadi perbedaan pilihlah pendapat yang rajih (lebih kuat) dari pendapat tersebut.

E. Tinjaun Pustaka.

Sejauh pengamatan penulis, memang telah ada beberapa pengkaji yang telah berusaha melakukan kajian terhadap penafsiran M. Quraish Shihab dalam bidang tafsir, akan tetapi kajian yang dilakukannya tidak secara mendalam atau hanya secara garis besarnya saja yaitu seperti yang kajian yang di lakukan oleh Adian Husaini yang pada saat bedah buku M.Quraish Shihab terlibat langsung dalam diskusi yaitu tulisan beliau terdapat di dalam majalah Suara Hidayatullah Edisi ke 7 XXIV (November, 2006).

Ada juga kajian yang dilakukan oleh Rafi’ah Hidayati yang merupakan Mahasiswa Tafsir Hadits yang disusun dalam bentuk Skripsi yang berjudul Jilbab dalam alquran (Studi Analisis Penafsiran Surah al Ahzab ayat 59) yang di terbitkan IAIN Antasari tahun 2005. kajian yang dilakukannya hanya berupa penafsiran secara tahlili dan di dalam skripsi itu pun hanya sedikit menyinggung pendapat M.Quraish Shihab yang dikemukakanya tentang jilbab. Ada juga kajian yang dilakukan oleh Mahasiswa Tafsir Hadits lain yaitu Syariffuddin yang membahas penafsiran M. Quraish shihab tetapi penafsiran beliau yang di bahasnya bukan berkenaan tentang jilbab tetapi tentang perbandingan penafsiran antara Fahruddin ar Razzi dengan M. Quraish Shihab mengenai kalimat tauhid La illa ha Illallah yang dituangkannya dalam skripsi berjudul Penafsiran Fahruddin ar Razi dan M. Quraish Shihab Tentang La ila Ha Illallah (Studi Komparatif)

Dari penulusuran yang telah penulis lakukan terhadap penafsiran M. Quraish Shihab dalam bidang Tafsir. Belum ada suatu kajian khusus dan mendalam yang membahas tentang penafsiran M. Quraish Shihab dan kritik Para Cendikiawan Muslim terhadapnya, terutama mengenai penafsirannya tentang jilbab di dalam buku beliau Jilbab Pakaian Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu Dan Cendikiawan Kontemporer dan bagaimana kritik para cendikiawan muslim sekarang dalam menanggapi pemikiran Quraish Shihab yang di anggap ganjil tersebut .

F. Metode Penelitian

1. Bentuk penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan terhadap hasil penafsiran M. Quaraish Shihab dalam Jilbab adalah Pakain Muslimah: Pandangan Ulama masa Lalu maupun Cendikiawan Kontemporer dan juga buku-buku beliau yang membahas tentang jilbab, maka penulis menggunakan metode penelitian penafsiran Alquran sebagai metode yang digunakan dengan ungkapan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif.

2. Data dan Sumber Data.

Penelitian ini menjadikan hasil interpretasi M. Quraish Shihab tentang Jilbab dalam Alquran dan bentuk pemikirannya dalam Jilbab Pakain Muslimah dan juga Kritik Para cendikiawan muslim terhadap pemikirannya. Adapun data yang menjadi bentuk penelitian ini adalah:

a. Data Primer

1. Penafsiran M. Quraish shihab tentang Jilbab yang ada di dalam buku buku beliau yaitu Tafsir al Misbah, Wawasan al Qur’an, dan Jilbab Pakain Muslimah: Pandangan ulama masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer.

2. Tulisan- tulisan yang memuat kritik-kritik para cendikiawan Musllim baik dari buku, majalah, maupun yang diperoleh dari media Internet.

b. Data Sekunder adalah karya pendukung penelitian yang memuat hasil interpretasi mufassir terhadap pemikirannya tentang Jilbab maupun kritik dari para cendikiawan muslim, seperti:

1. Majalah Suara Hidayatullah

2. Fatwa-fatwa Kontemporer Yusuf al Qardhawi.

3. Kitab-kitab Tafsir

4. dan lain-lain.

3. Tekhik Pengolahan dan Analisi Data.

Penelitian ini dilakukan terhadap hasil penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab yang meliputi penafsirannya dan kritik para cendikiawan muslim terhadap penafsiran beliau. Adapun langkah metodologis dalam mengolah data sebagai berikut:

a. Pengumpulan data, dalam hal ini data penelitian sebagian terkumpul dalam Jilbab Pakain Muslimah: Pandangan ulama masa lalu dan cendikiawan kontemporer karya M. Quraish Shihab ditambah dengan data-data sekunder yang diperlukan .

b. Kalsifikasi data, yaitu dengan membagi data dalam tiga bahasan:

Pertama, Riwayat hidup M. Quraish Shihab.

Kedua, Penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab.

Ketiga, Kritik Para cendikiawan muslim terhadap hasil Penafsiran M. Quraish Shihab.

c. Analisis Data, yaitu data yang diperoleh akan di analisis dengan menggunakan analisis isi dan akan dipaparkan dalam bentuk ungkapan deskriptif kualitatif.

d. Pembagian dan Penyususnan bab. Hasil akhir penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan di bahas dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama atau pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, yang mempertengahkan beberapa, masalah sehingga penulis termotivasi untuk melakukan penelitian terhadap M. Quraish Shihab, kemudian dibuat rumusan masalah, definisi operasional, tinjaun pustaka, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, dan untuk menyelesaikan penelitian di ketengahkan metode penelitian serta diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab kedua yang berisi tentang riwayat hidup M. Quraish Shihab.. Adapun riwayat hidup beliau meliputi profil singkat M. Quraish Shihab, kondisi sosio- historis lingkungan dan pendidikan yang mempengaruhi pemikirannya.

Bab ketiga, berisi tentang penafsirannya tentang jilbab yang meliputi pengertian jilbab, ayat-ayat tentang Jilbab, pendapat para ulama masa dahulu dan masa kini tentang jilbab dan hukum berjilbab.

Bab keempat berisi para cendikiawan muslim yang mengkritik penafsiran M. Quraish Shihab tentang Jilbab. Adapun para cendikiawan muslim yang mengkritik beliau adalah Dr. Eli Maliki, Dr. Mukhlis Hanafi dan Adiani Husaini.

Bab kelima atau penutup berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan kemudian diakhiri dengan saran-saran.



[1] Yusuf al Qardhawi, Hady Al Islam; Fatawa Mua’ashirah, di terjemahkan oleh H. M.H. al Hamidy al Husaini dengan judul Fatwa-fatwa Mutakhir Yusuf al Qardhawi, cet. 2, (Jakarta: Yayasan al Hamidy, 1995), h. 539-540.

[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, cet. II, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati, , 2002) h. 333.

[3] Adian Husaini, “Jilbab”:M. Quraish Shihab, http//www. Down. Com/2006/09/op.html/top, h. 1. Juga dalam tulisan beliau yaitu “Jilbab”: M Quraish Shihab, Suara Hidayatullah, XXIV, 7 (November, 2006) h. 92-93.

[4] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakain Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa lalu dan Cendikiawan Kontemporer, cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.49.

[5] Aksi demo yang dilakukan kawan-kawan Mahasiswa tersebut berlangsung di Hotel Indonesia di Jakarta pada hari Jum’at tanggal 8 Maret 2002. lebih jelasnya lihat, tulisan Sri Sunarti, “Jilbab di Kebiri”, Sabili, XII, 17 th, (Maret, 2005), h.10.

[6] Bahrul Ulum, “DR. Mukhlis Hanafi Bidang Muda Tafsir Al Qur’an”, Suara Hidayatullah, XX, 01 (Mei, 2007), h.55.

[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, (Jakarta: Balai pustaka, 1990), h. 363.

[8] Ibid, h. 466.



Tidak ada komentar: